Senin, 25 Juni 2012

FORUM ANAK TEGAL BAHARI



Dari 50 peserta Latihan Dasar Kepemimpinan (LDK) FORUM ANAK TEGAL BAHARI (FANTRI) diberikan pembekalan, peserta yang berasal dari pengurus FANTRI masa bhakti 2010-2012 dan calon pengurus masa bhakti 2012-2014 melaksanakan outbond di sekitar Waduk Cacaban Slawi Kabupaten Tegal.

FANTRI memang perlu direorganisasi agar tetap eksis, apalagi dengan adanya LDK diharapkan mampu membentuk pengurus Forum Anak sebagai generasi yang menjadi tauladan, dapat terbentuk pribadi yang memiliki budi pekerti dan wawasan luas, sehingga dapat menciptakan masyarakat yang bermoral, karena saat ini yang dibutuhkan adalah keteladanan dalam melaksanakan segala hal, dapat menjadi pemimpin yang amanah, yang tidak akan melakukan korupsi.

Sebelumnya 50 anak tersebut dipilah-pilah dalam empat kecamatan berdasarkan tempat tinggalnya. Sisanya yang tidak menjadi pengurus kota akan dipilih menjadi pengurus kecamatan masing-masing 5 anak dan 1 koordinator tiap kelurahan

Dalam kaitannya dengan Tegal menuju Kota Layak Anak, Pemerintah Kota Tegal telah berupaya untuk mendukung program layak anak. Dengan memberikan pendidikan yang layak bagi anak Kota Tegal

Sementara itu dalam pelaksanaan outbond, peserta LDK diharapkan untuk berhati-hati dan melaksanakan petunjuk yang diberikan instruktur, peserta yang telah akil balig untuk menjaga pergaulan dan cara berpakaian, sehingga terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan. Sebelum berangkat, peserta diminta untuk ijin minta restu orang tua sebagai ungkapan rasa bhakti kepada orang tua.


Dalam outbond dilaksanakan berbagai kegiatan yang dibalut dengan permainan-permainan, antara lain ice breaking untuk memecah kebekuan sesama pengurus karena belum saling mengenal, komunikasi efektif masing-masing pengurus, team building yakni bagaimana membangun sebuah tim yang efektif dan kepemimpinan atau leadership.Tujuan outbond ini untuk membentuk pemimpin masa depan yang memiliki semangat belajar, mudah berkomunikasi dan bekerja sama dalam tim.


Read More..

Kamis, 14 Juni 2012

SISTEM ISYARAT BAHASA INDONESIA (SIBI)



Salah satu kebutuhan manusia yang paling utama adalah berkomunikasi. Melalui komunikasi seseorang dapat memenuhi kebutuhannya akan informasi, mengaktualisasi diri, dan berhubungan dengan orang-orang sekitarnya. Bagi penyandang cacat tunarungu komunikasi secara lisan tidak dapat dipenuhi karena mereka mengalami hambatan melalui alat pendengarannya. Bagi orang normal komunikasi dilakukan melalui bahasa lisan akan tetapi bagi anak tuna rungu wicara berkomunikasi dilakukan dengan menggunakan bahasa yang diisyaratkan.

Hingga saat ini penggunaan bahasa isyarat bagi anak tuna rungu wicara masih belum terdapat keseragaman. Bahasa isyarat adalah bahasa yang mengutamakan komunikasi manual, bahasa tubuh, dan gerak bibir, bukannya suara, untuk berkomunikasi. Kaum tuna rungu adalah kelompok utama yang menggunakan bahasa ini, biasanya dengan mengkombinasikan bentuk tangan, orientasi dan gerak tangan, lengan dan tubuh, serta ekspresi wajah untuk mengungkapkan pikiran mereka. Untuk Indonesia, sistem yang sekarang umum digunakan adalah Sistem Isyarat Bahasa Indonesia (SIBI).

Kebijakan pemerintah yang digariskan dalam Undang-Undang Republik Indonesia No 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional antara lain dinyatakan bahwa :
”Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembankan manusia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan ketrampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan”. Kebijakan tersebut berlaku juga bagi warga negara yang menyandang kelainan termasuk kaum tuna rungu. Oleh karena itulah dilakukan kegiatan penyusunan Sistem Isyarat Bahasa Indonesia (SIBI).

Seperti juga dalam pendidikan pada umumnya, pendidikan kaum tuna rungu sangat memerlukan sarana pendidikan. Pada umumnya berkomunikasi dengan berbicara dianggap sebagai ciri khas manusia mahkluk sosial. Kaum tuna rungu karena tidak dapat menggunakan indera pendengarannya secara penuh, sulit mengembangkan kemampuan berbicara sehingga hal itu akan menghambat perkembangan kepribadian, kecerdasan, dan penampilan sebagai mahkluk sosial. Tidak mengherankan apabila di dalam dunia pendidikan anak tuna rungu pendekatan diprioritaskan kepada pengembangan kemampuan berbicara dengan orang lain karena mereka adalah anggota masyarakat yang pada akhirnya nanti berkarya di sana sehingga penguasaan bahasa lisan dan kemampuan berbicara lebih diutamakan.

Berkembanglah metode oral begitu pula keadaannya di Indonesia. Tidak dapat disangkal bahwa SIBI memberikan hasil yang masih jauh dari yang diharapkan, khususnya di Indonesia karena kurang terpenuhi persyaratan metode oral baik dari segi guru maupun sarana penunjang. Pandangan ini menampilkan pendekatan baru yaitu memanfaatkan segala media komunikasi di dalam pengajaran anak tuna rungu. Di samping menggunakan media yang tidak lazim, yaitu berbicara, membaca ujaran, menulis, membaca dan mendengar (dengan memanfaatkan sisa kemampuan mendengar), pendekatan ini menggunakan pula isyarat alamiah, abjad jari, dan isyarat yang dibakukan. Pendekatan ini dikenal dengan nama komunikasi total (KOMTAL).


Komtal merupakan konsep yang bertujuan mencapai komunikasi yang efektif antara sesama tuna rungu atupun tuna rungu dengan masyarakat luas dengan menggunakan media berbicara, membaca bibir, mendengar dan berisyarat secara terpadu.


Sistem Isyarat Bahasa Indonesia merupakan salah satu media yang membantu komunikasi sesama kaum tuna rungu di dalam masyarakat yang luas. Wujudnya adalah tataan sistematis tentang seperangkat isyarat jari, tangan dan berbagai gerak yang melambangkan kosakata Bahasa Indonesia.

Secara terperinci tolak ukur itu sebagai berikut :

1. System isyarat harus secara akurat dan konsisten mewakili sintaksis Bahasa Indonesia yang paling banyak digunakan oleh masyarakat Indonesia.

2. System isyarat harus mewakili satu kata dasar tanpa menutup kemungkinan adanya beberapa pengecualian bagi dikembangkannya isyarat yang mewakili satu makna.

3. System isyarat mencerminkan situasi social, budaya, dan ekologi bahasa Indonesia.

4. System isyarat disesuaikan dengan perkembangan kemampuan dan kejiwaan siswa.

5. System isyarat harus memperhatikan isyarat yang tidak ada.

6. System isyarat harus mudah dipelajari.

7. Wujud isyarat harus secara visual memiliki unsur pembeda makna yang jelas tetapi sederhana, indah dan menarik gerakannya.

8. Isyarat dapat dipakai pada jarak sedekat mungkin denga mulut pengisyarat dan dengan kecepatan yang mendekati tempo berbicara yang wajar dalam upaya merealisasikan tujuan konsep komunikasi total.


Tuhan telah menciptakan keindahan alam ini yang dilengkapi bunyi-bunyian yang ada di sekelilingnya itulah yang dinamakan bunyi latar belakang yang membuat manusia terus menerus mempunyai kontak dengan orang lain dan alam sekelilingnya. Pada anak tuna rungu tidak dapat menghayati bunyi latar belakang atau folakisasi lingkungan seperti pada anak normal. Namun demikian pada ATR (Anak Tuna Rungu) / tuli total sekalipun masih dapat menghayati bunyi walaupun hanya vibrasi. Kebanyakan ATR masih memiliki sisa pendengaran pada daerah nada tinggi atau nada rendah. Oleh karena itu masih ada kemungkinan untuk mengembangkan penghayatan bunyi secara sistematis sehingga mereka tumbuh menjadi manusia yang lebih normal.

Berkat pengembangan audiologi dan tehknologi baru derajat pendengaran anak tuna rungu dapat diukur pada usia lebih dini dan lebih teliti dan dapat digolongkan menurut sisa pendengarannya.

Alat Bantu Dengar akhirnya dapat mengubah anggapan yang salah bahwa ATR akan tergantung pada penglihatannya dalam berkomunikasi. Ternyata pada batas tertentu indera pendengaran anak masih dapat berfungsi, terutama dengan latihan mendengar yang teratur dan berkesinambungan. Selanjutnya latihan mendengar itu dilaksanakan dalam pelajaran Bina Komunikasi Persepsi Bunyi dan Irama (BKPBI).
Read More..

Selasa, 12 Juni 2012

KESULITAN BELAJAR MATEMATIKA (DISKALKULIA)



Kesulitan belajar matematikan disebut juga diskalkulia (dyscalculia) (Lerner, 1988:430). Istilah diskalkulia memiliki konotasi medis yang memandang adanya keterkaitan dengan gangguan system saraf pusat.

Karakteristik
Menurut Lerner (1981:357) ada beberapa karakteristik anak berkesulitan belajar matematika, yaitu:

1. Gangguan hubungan keruangan
Kesulitan dalam memahami konsep atas-bawah, puncak-dasar, jauh-dekat, tinggi-rendah, depan-belakang, dan awal-akhir. Sehingga anak tidak mampu merasakan jarak antara angka-angka pada garis bilangan atau penggaris, dan mungkin anak juga tidak tahu bahwa angka 3 lebih dekat ke angka 4 dari pada ke angka 6.

2. Abnormalitas persepsi visual
Anak mengalami kesulitan untuk melihat berbaai objek dalam hubungannya dengan kelompok atau set. Misalnya kesulitan menjumlahkan dua kelompok benda yang masing-masing terdiri dari lima dan empat anggota. Anak semacam itu mungkin akan menghitung satu per satu anggota tiap kelompok lebih dahulu sebelum menjumlahkannya. Mereka juga sering kesulitan membedakan bentuk-bentuk geometri.

3. Asosiasi visual-motor
Anak sering tidak dapat menghitung benda-benda secara berurutan sambil menyebutkan bilangannya.

4. Perseverasi
Ada anak yang perhatiannya melekat pada suatu objek saja dalam jangka waktu yang relative lama. Contoh:
1. + 3 = 7
2. + 3 = 8
5 + 2 = 7
5 + 4 = 9
4 + 4 = 9
3 + 4 = 9

5. Kesulitan mengenal dan memahami symbol

6. Gangguan penghayatan tubuh
Anak kesulitan memahami hubungan bagian-bagian tubuhnya sendiri.

Skor performance IQ jauh lebih rendah dibandingkan dengan skor verbal.
Kekeliruan dalam proses perhitungan
Kekurangan Pemahaman Tentang Simbol
Anak-anak belum memahami simbol-simbol dasar perhitungan seperti simbol jumlah (+), kurang (-), dan sama dengan (=).


1. Nilai Tempat
Ketidak pahaman terhadap nilai tempat banyak diperlihatkan oleh anak seperti berikut ini:
75 - 27 = 58

Anak tidak memahami nilai tempat bilangan 7 pada bilangan 75, sehingga anak menghitung:
15 – 7 = 8 dan 7 – 2 = 5 (bilangan 7 harusnya berubah jadi 6), jadi hasilnya 58. jawaban yang benar seharusnya 48.

68 + 13 = 71

Pada soal 68 + 13, anak tidak menjumlahkan bilangan 1 puluhan sebagai hasil dari 8 + 3 = 11. Seharusnya 1 puluhan dijumlahkan dengan 6 + 1 (1+ 6 + 1 = 8). Sehingga jumlah yang benar adalah 81.

Anak yang mengalami kekeliruan semacam itu dapat juga karena lupa cara menghitung persoalan pengurangan atau penjumlahan bersusun ke bawah, sehingga kepada anak tidak cukup hanya diajak memahami nilai tempat tetapi juga diberi latihan yang cukup.


2. Penggunaan Proses yang Keliru
Kekeliruan dalam penggunaan proses penghitungan dapat dilihat pada contoh berikut ini:
Mempertukarkan simbol-simbol
6 X 2 = 8

Anak belum memahami simbol X (perkalian). Sehingga simbol X dianggap penjumlahan menjadi 6 + 2 = 8. Seharusnya 6 x 2 = 12.


2. Jumlah satuan dan puluhan ditulis tanpa memperhatikan nilai tempat

83 + 67 = 1410


Kekeliruan yang terjadi adalah anak menghitung 3 + 7 = 10 kemudian 8 + 6 = 14, hasilnya 1410.
Jawaban yang benar seharusnya adalah 150.


Contoh format asesmen
Nama :
TTL :
Kelas :
Tgl. Asesmen :


No
Kemampuan
Keterangan
1
Gangguan hubungan keruangan
...
2
Abnormalitas persepsi visual
...
3
Asosiasi visual-motor
...
4
Perseverasi
...
5
Kesulitan mengenal dan memahami simbol
...
6
Gangguan penghayatan tubuh
...
7
Kekeliruan dalam proses perhitungan
...



Penanganan


Menyiapkan anak belajar Matematika
Pembelajaran pra berhitung meliputi klasifikasi, seriasi, korespondensi, dan konservasi (Piaget, 1965 dalam Mercer dan Mercer, 1989:188).

1. Klasifikasi
Piaget (1965) yang dikutip oleh Mercer & Mercer (1989:188) mengatakan bahwa klasifikasi adalah satu dari banyak kegiatan-kegiatan intelektual dasar yang harus dikuasai sebelum belajar bilangan. Klasifikasi melibatkan hubungan persamaan, perbedaan, dan pengkategorisasian (categorizing) obyek menurut sifat-sifat khususnya. Copeland (1979; dalam Mercer & Mercer, 1989) mengatakan bahwa banyak anak-anak yang menguasai keterampil¬an pengklasifikasian pada usia 5-7 tahun.
Klasifikasi dapat mencakup: (a) mengelompokan berdasarkan warna, yaitu mengelompokkan dua warna, mengelompokkan tiga warna dan mengelompokkan empat warna; (b) mengelompokan berdasarkan bentuk yaitu mengelompokkan bentuk lingkaran, bentuk segitiga, bentuk segiempat dan bentuk segipanjang; (c) mengelompokan berdasarkan ukuran, yaitu mengelompokan objek ukuran kecil, obyek yang sedang dan obyek yang besar.

2. Ordering (Mengurutkan) dan Seriasi
Ordering (mengurutkan) adalah kemampuan mengurutkan obyek berdasarkan tipe atau pola tertentu sehingga ada pemetaan hubungan dari urutan. Misalnya, (a) anak mengurutkan pola X – O – X – O – X – …. (b) mengurutkan obyek berdasarkan pola warna, misalnya mengurutkan 3 pola warna dan mengurutkan 4 pola warna, (c) mengurutkan obyek berdasarkan pola bentuk, contohnya mengurutkan 3 pola bentuk dan mengurutkan pola 4 bentuk.
Sedangkan seriasi adalah menyusun obyek berdasarkan ukurannya mulai dari yang terpendek sampai yang paling panjang atau dari yang terkecil sampai yang terbesar (Homdijah, 2004:193).
Ordering dan seriasi menjadi aspek pra berhitung karena berkaitan dengan sifat bilangan dalam aritmatika/berhitung yang memiliki sifat keteraturan yang disusun secara terpola dan berurut. Buktinya, yaitu bilangan itu di susun mulai dari nilai yang terkecil sampai yang terbesar: 1 kemudian 2, setelah 2, 3 dan seterusnya (1, 2, 3, 4, dan seterusnya). Urutan bilangan itu pun berseri. Satu seri terdiri dari sepuluh bilangan dan disusun dari yang terkecil sampai yang terbesar. Misalnya, 1 sampai 10, 11 sampai 20 dan seterusnya.

3. Korespondensi
Korespondensi adalah keterampilan memahami jumlah satu set obyek pada suatu tempat adalah sama banyaknya dengan satu set obyek pada tempat yang lain tanpa menghiraukan karakteristik obyek tersebut (Mercer dan Mercer, 1989:189).
Contoh pada aspek ini misalnya; (a) anak menilai jumlah obyek yang sama tapi ukuran obyek itu berbeda (10 biji kancing kecil dalam satu gelas dengan 10 biji kancing besar dalam gelas yang lain); (b) menilai jumlah dua obyek yang berbeda (2 pencil dengan 2 pulpen ); (c) menghubungkan antara isi/nilai dengan lambang bilangan (gambar satu telur dihubungkan dengan lambang bilangan 1, gambar 5 buah apel dihubungkan dengan lambang bilangan 5.
Keterkaitan aspek korespondensi dengan keterampilan berhitung adalah menanamkan konsep pada anak bahwa adanya hubungan antara isi/nilai dengan lambang bilangan, sehingga anak mampu menghubungkan antara isi dan lambang bilangan. Meskipun lambang bilangan itu ditulis besar-besar tetapi isi/nilainya tetap. Lambang bilangan 1 artinya memiliki isi/nilai satu. Oleh karena itu dalam korespondensi ini pun anak dilibatkan dalam aktifitas menghubungkan antara lambang bilangan dengan isi/nilainya.

5. Konservasi
Konservasi adalah banyaknya obyek dalam satu tempat atau satu kelompok akan tetap konstan meskipun letaknya berubah (Mercer dan Mercer, 1989:189).
Konservasi mencakup; (a) konservasi jumlah yaitu konservasi jumlah dalam 5 obyek, konservasi jumlah dalam obyek dan konservasi jumlah dalam 9 obyek; (b) konservasi berat, yaitu konservasi berat (bulat dan pipih) dan konservasi berat (opal dan spiral); (c) konservasi isi, yaitu konservasi isi tentang air (posisi vertical) dan konservasi isi tentang air pada dua tempat yang berbeda; (d) konservasi luas yaitu obyek sama, posisi berbeda dan obyek sama, bentuk berbeda.


Maju dari kongkrit ke Abstrak
Pengajaran pada tahap kongkrit adalah proses pengajaran yang dilakukan dengan mengaktifkan alat sensoris dengan cara memanipulasi obyek. Pada tahap belajar seperti ini mutlak harus menggunakan media pembelajaran (alat peraga). Sebagai contoh, dalam menjelaskan konsep bilangan. Proses belajar dimulai dari memanipulasi obyek seperti balok-balok, kelereng, gelas, cangkir dan sebagainya. Anak diperkenalkan dengan benda-benda itu, lalu didemonstrasikan, misalnya, jumlah obyek yang banyak dengan yang sedikit, balok yan jumlahnya satu dengan balok yang jumlahnya dua dan seterusnya. Kegiatan pada tahap ini belum diperkenalkan dengan simbol-simbol angka.

Pengajaran pada tahap semi kongkrit adalah proses yang dilakukan dengan menggunakan media gambar dari benda kongkrit. Misalnya gambar apel, telur, gelas, kelereng, dan sebagainya.
Semi abstrak adalah proses pengajaran yang dilakukan dengan media gambar yang obyek tidak mewakili benda kongkrit, misalnya jumlah lingkaran yang lebih banyak dibandingkan dengan jumlah lingkaran yang lebih sedikit. Menghitung jumlah gambar segitiga, sgi empat, lingkaran, dan lain-lain.
Tahap abstrak adalah pengajaran yang langsung menggunakan simbol-simbol angka (lambang bilangan) seperti angka 1, 2, 3, dan seterusnya.

Menyediakan kesempatan untuk berlatih dan mengulang

Read More..

ANAK BERKESULITAN BELAJAR MENULIS (DISGRAFIA)



Disgrafia mengacu kepada anak yang mengalami hambatan dalam menulis meskipun ia tidak mengalami gangguan dalam motoriknya, visualnya, dan intelegensinya normal, bahkan ada yang di atas rata-rata.
Hambatan ini juga bukan diakibatkan oleh masalah-masalah ekonomi dan sosial.

Karakteristik
• Lambat ketika menulis
• Kesulitan menggunakan spasi antar huruf atau antar kata
• Tulisan tidak terbaca oleh orang lain dan dirinya sendiri
• Tulisan terlalu tipis atau terlalu menekan
• Sering menulis suatu angka atau huruf mirip dengan yang lain. Misalnya, 3 dengan 5, k dengan h, t dengan r.

Penanganan
1. Asesmen
Mengamati hal berikut ini: posisi duduk, cara memegang alat tulis, posisi kertas/buku, konsistensi tangan yang digunakan untuk menulis, kondisi emosi, motivasi, perilaku menolak untuk menulis.

Pola-pola kesalahan dalam menulis
Formasi huruf, ukuran huruf, posisi huruf dengan garis batas, spasi, kualitas garis, kecepatan menulis.

Catat dalam format
Nama:
Kelas:
Usia:
Tanggal:


No
Pola/Bentuk Kesalahan
Keterangan
1
posisi duduk
...
2
cara memegang alat tulis
...
3
posisi kertas/buku
...
4
konsistensi tangan yang digunakan untuk menulis
...
5
kondisi emosi
...
6
motivasi
...
7
perilaku menolak untuk menulis
...
8
Formasi huruf
...
9
ukuran huruf
...
10
posisi huruf dengan garis batas
...
11
spasi
...
12
kualitas garis
...
13
kecepatan menulis
...
14
Tulisan tidak terbaca oleh orang lain dan dirinya sendiri
...


1. Aktifitas Penanganan

FAKTOR KESIAPAN MENULIS
Menulis membutuhkan kemampuan kontrol muskular, koordinasi mata –tangan, dan diskriminasi visual.
• Contoh aktivitas yang mendukung kontrol muskular: melatih otot gerak atas,menggunting, mewarnai gambar, finger painting dan tracing.
• Kegiatan koordinasi mata – tangan seperti: membuat lingkaran dan menyalin bentuk-bentuk geometri.
• Pengembangan diskriminasi visual dapat dilakukan dengan kegiatan membedakan bentuk, ukuran, dan detailnya sehingga anak menyadari bagaimana cara menulis suatu huruf.

AKTIVITAS LAIN YANG MENDUKUNG

o Kegiatan yang memberikan kerja aktif dari pergerakan otot bahu, lengan atas – bawah, dan jari.
o Menelusuri bentuk geometri dan barisan titik.
o Menyambungkan titik.
o Membuat garis horizontal dari kiri ke kanan.
o Membuat garis vertikal dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas.
o Membuat bentuk-bentuk lingkaran dan kurva.
o Membuat garis miring secara vertikal.
o Menyalin bentuk-bentuk sederhana
o Membedakan bentuk huruf yang mirip dan huruf yang bunyinya hampir sama.

HURUF LEPAS / CETAK

 Guru/ORTU memperlihatkan sebuah huruf yang akan ditulis

 Guru/ORTU mengucapkan dengan jelas nama huruf dan arah garis untuk membuat huruf itu.

 Siswa/anak menelusuri huruf itu dengan jarinya sambil mengucapkan dengan jelas arah garis untuk membuat huruf itu.§

 Siswa/anak menelusuri garis tersebut dengan pensilnya.

 Siswa/anak menyalin contoh huruf itu di kertas/bukunya.

§ Jika cara ini sudah dikuasai siswa maka langsung dilanjutkan dengan menyambungkan titik yang dibentuk menjadi huruf tertentu. Sampai akhirnya siswa mampu membuat huruf dengan baik tanpa dibantu. Tahap selanjutnya adalah menulis kata dan kalimat.


PENGEMBANGAN KEMAMPUAN MENULIS HURUF LEPAS
• Menyalin huruf/angka dengan bantuan tanda panah sebagai petunjuk arah menulis
• Menulis huruf di antara garis huruf model
• Menulis huruf pada kertas berpetak
• Menyambungkan titik/garis putus-putus yang berbentuk huruf
• Puzzle huruf kapital dan huruf kecil
• Menulis huruf di kertas garis tiga

HURUF TRANSISI
Maksud dari huruf transisi adalah huruf yang digunakan untuk melatih siswa sebelum menguasai huruf sambung. Adapun langkah-langkah pengajarannya sbb:

1. Kata/huruf ditulis dalam bentuk lepas/cetak.
2. Huruf yang satu dengan huruf yang lain disambungkan dengan titik-titik dengan menggunakan warna yang berbeda.
3. Siswa menelusuri huruf dan sambungannya sehingga menjadi bentuk huruf sambung.

HURUF SAMBUNG
Untuk mengajarkan huruf sambung dapat menggunakan langkah-langkah huruf lepas dan huruf transisi.

Read More..

ANAK BERKESULITAN BELAJAR MEMBACA (DISLEKSIA)

Disleksia menunjuk kepada anak yang tidak dapat membaca sekalipun penglihatan, pendengaran, dan intelegensinya normal (bahkan ada yang intelegensinya di atas rata-rata) serta keterampilan bahasanya sesuai. Disleksia ini akibat faktor neurologis dan tidak dapat diatributkan pada faktor kedua misalnya lingkungan atau sebab-sebab sosial.






Karakteristik
1. Membaca lamban, turun naik intonasinya, dan membaca kata demi kata,
2. Sering membalik huruf dan kata-kata,
3. Pengubahan huruf pada kata,
4. Kacau terhadap kata-kata yang hanya sedikit berbeda susunannya misalnya: bau, buah, batu, buta,
5. Sering menebak dan mengulang kata-kata dan frase.

Asesmen
Menandai letak kesulitan
Beberapa Kemungkinan Letak Kesulitan :

o Kesulitan membaca atau memahami suatu kata
o Huruf terbalik/tertukar
o Penghilangan kata/suku kata
o Menebak kata
o Menambahkan kata
o Pengulangan pembacaan
o Lambat
o Sulit menangkap isi bacaan


Contoh Format Hasil Assessment

Nama:
Kelas:
Usia:
Tanggal:


No
Pola/Bentuk Kesalahan
Keterangan
1
Kesulitan membaca atau memahami suatu kata
...
2
Huruf terbalik/tertukar
...
3
Penghilangan kata/suku kata
...
4
Menebak kata
...
5
Menambahkan kata
...
6
Pengulangan pembacaan
...
7
Lambat
Sulit menangkap isi bacaan
...

1. Aktifitas Penanganan

Aktifitas pra Membaca
Pengembangan Bahasa dan Bicara
1. Mendemonstrasikan apa yang anak ingin kerjakan

2. Menceritakan pada anak apa yang sedang ia lakukan

3. Mendorong anak bercakap cakap

4. Memperlihatkan kepada anak gambar yang menarik sehingga anak mampu mendeskripsikan dan menginterpretasikannya.

5. Membaca dan menceritakan cerita pendek kepada anak

6. Meminta atau memberi dukungan kepada anak untuk bercerita di depan kelas tetang situasi yang menarik yang dialami di rumah atau di tempat lain

7. Membuat permainan telepon-teleponan

Pengembangan Fungsi Visual
1. Diskriminasi visual
2. Persepsi visual
3. Asosiasi visual
4. Visual Closure

Pengembangan Fungsi Auditif
1. Diskriminasi auditif
2. Persepsi auditif
3. Asosiasi auditif
4. Auditif Closure


Aktifitas Membaca
Pendekatan/metode Multisensori (VAKT)
1. Guru memberikan kartu huruf dan mengucapkannya, anak menirukan apa yang diucapkan guru.

2. Setelah nama huruf dikuasai anak, guru mengucapkan bunyi huruf dan anak mengikutinya. Selanjutnya guru menanyakan kepada anak,”Apa nama bunyi huruf ini?” anak lalu menyebutkan bunyinya

3. Guru mengucapkan bunyi huruf, bagian kartu yang bertuliskan huruf tidak diperlihatkan kepada anak (menghadap ke guru). Kemudian guru memperlihatkannya dan menanyakan kepada anak tentang nama huruf tersebut, kemudian anak menjawabnya.

4. Guru menuliskan huruf yang dipelajari, menerangkan dan menjelaskannya. Anak memahami bunyi, bentuk, dan cara membuat huruf dengan cara menelusuri huruf yang dibuat guru, kemudian menyalin huruf berdasarkan memorinya. Akhirnya anak menulis sekali lagi dengan mata tertutup atau tidak mencontoh. Setelah dikuasai betul oleh anak, guru melanjutkan dengan huruf lain. Bila siswa sudah menguasai beberapa huruf, kemudian dapat dilanjutkan dengan merangkai kata dengan pola KVK (Konsonan Vokal Konsonan).
Read More..

ANAK BERKESULITAN BELAJAR



1. Definisi Anak Berkesulitan Belajar
Anak berkesulitan belajar (learning diabilities), yaitu anak yang memiliki kesulitan belajar dalam proses psikologis dasar, sehingga menunjukkan hambatan dalam belajar berbicara, mendengarkan, menulis, membaca, dan berhitung, sedangkan mereka ini memiliki potensi kecerdasan yang baik tapi berprestasi rendah, yang bukan disebabkan oleh tunanetra, tunarungu, terbelakang mental, gangguan emosional, gangguan ekonomi, sosial atau budaya (Public Law 94-142, 1997; Delphie, B., 2006:27)

2. Jenis-Jenis Kesulitan Belajar
Secara garis besar kesulitan belajar dapat diklasifikasikan ke dalam dua kelompok (Abdurahman, 2003:11), yaitu:
(a) kesulitan belajar yang berhubungan dengan perkembangan (developmental learning disabilities) dan
(b) kesulitan belajar akademik (academic learning disabilities).

Kesulitan belajar yang berhubungan dengan pekembangan mencakup gangguan motorik dan persepsi, kesulitan belajar bahasa dan komunikasi, dan kesulitan belajar dalam penyesuaian perilaku sosial.

Kesulitan belajar akademik menunjuk pada adanya kegagalan-kegagalan pencapaian prestasi akademik yang sesuai dengan kapasitas yang diharapkan. Kegagalan-kegagalan tersebut mencakup penguasaan keterampilan dalam membaca, menulis, dan berhitung atau matematika.
Read More..

MEMOTIVASI SISWA AGAR TUJUAN BELAJAR MEREKA BUKAN HANYA NILAI



Pendidikan menurut islam mempunyai kedudukan yang tinggi. Ini dibuktikan dengan wahyu pertama yang dismpaikan kepada Nabi Muhammad SAW yang menyuruh beliau membaca dalam keadaan beliau yang ummi. Di samping itu, wahyu ini juga mengandung suruhan belajar mengenali Allah SWT, memahami fenomena alam serta mengenali diri yang merangkumi prinsip – prinsip aqidah, ilmu, dan amal. Ketiga prinsip ini merupakan serambi falsafah pendidikan Islam.

Belajar adalah suatu kata yang akrab dengan semua lapisan masyarakat dan merupakan kegiatan yang paling banyak dilakukan orang. Bagi para pelajar atau mahasiswa kata “belajar” merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari semua kegiatan mereka dalam menuntut ilmu di lembaga pendidikan formal. Belajar dapat dilakukan hampir setiap waktu, kapan saja, dan dimana saja sesuai dengan keinginan.

Belajar adalah kegiatan yang berproses dan merupakan unsur yang sangat fundamental dalam penyelenggaraan setiap jenis dan jenjang pendidikan. Ini berarti bahwa berhasil atau gagalnya pendidikan itu sangat bergantung pada proses belajar yang dialami siswa, baik ketika ia berada di sekolah maupun lingkungan rumah atau keluarganya sendiri.
Oleh karena itu, pemahaman yang benar mengenai arti belajar dengan segala aspek, bentuk, dan manifestasinya mutlak diperlukan oleh para pendidik khususnya para guru. Kekeliruan atau ketidaklengkapan persepsi mereka terhadap proses belajar dan hal – hal yang berkaitan dengannya mungkin akan mengakibatkan kurang bermutunya hasil pembelajaran yang dicapai peserta didik.

Sebagian orang beranggapan belajar adalah semata-mata mengumpulkan atau menghafalkan fakta-fakta yang tersaji dalam bentuk informasi/materi pelajaran. Orang yang beranggapan demikian biasanya akan segera merasa bangga ketika anak-anaknya telah mampu menyebutkan kembali secara lisan (verbal) sebagian besar informasi yang terdapat dalam buku teks atau yang diajarkan oleh guru. Ada juga yang memandang belajar sebagai pelatihan belaka seperti yang tampak pada pelatihan membaca, menulis, dan menghitung. Persepsi ini biasanya membuat mereka merasa cukup puas bila anak-anak mereka telah mampu memperlihatkan keterampilam jasmaniah tertentu ataupun nilai di raport yang bagus walaupun tanpa pengetahuan mengenai arti, hakikat, dan tujuan dari kegiatan belajar tersebut.


Definisi tentang belajar sudah banyak dikemukakan oleh para ahli pendidikan, diantaranya adalah :

1. Depdiknas (2003) mendefinisikan belajar sebagai proses membangun makna/pemahaman terhadap informasi dan/atau pengalaman. Proses membangun makna tersebut dapat dilakukan sendiri oleh siswa atau bersama orang lain. Proses itu disaring dengan persepsi, pikiran (pengetahuan awal), dan perasaan siswa. Belajar bukanlah proses menyerap pengetahuan yang sudah jadi bentukan guru. Hal ini terbukti, yakni hasil ulangan para siswa berbeda-beda padahal mendapat pengajaran yang sama, dari guru yang sama, dan pada saat yang sama. Mengingat belajar adalah kegiatan aktif siswa, yaitu membangun pemahaman, maka partisipasi guru jangan sampai merebut otoritas atau hak siswa dalam membangun gagasannya.

2. James O. Whittaler mengatakan learning may be defined as the process by which behavior originates or is altered through training or experience. Belajar sebagai proses di mana tingkah laku ditimbulkan atau diubah melalui latihan atau pengalaman.

3. Cronbach, berpendapat bahwa learning is shown by change in behavior as a result of experience. Belajar sebagai aktivitas yang ditunjukkan oleh perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman.

4. Howard L. Kingskey mengatakan bahwa learning is the process by which behavior (in the broader sense) is originated or changed through practice or training. Belajar adalah proses di mana tingkah laku (dalam arti luas) ditimbulkan atau diubah melalui praktek atau latihan.

5. Skinner dalam bukunya Educational Psychology : The teaching-Learning Process, berpendapat bahwa belajar adalah proses adaptasi atau penyesuaian tingkah laku yang berlangsung secara progresif. Berdasarkan eksperimennya, Skinner percaya bahwa proses adaptasi tersebut akan mendatangkan hasil yang optimal apabila diberi penguat (reinforcer).

6. Chaplin dalam Dictionary of Psychology membatasi belajar dengan dua macam rumusan:
a. Acquisition of any relatively permanent change in behavior as a result of practice and experience. Belajar adalah perolehan perubahan tingkah laku yang relatif menetap sebagai akibat praktik dan pengalaman.
b. Process of acquiring responses as a result of special practice. Belajar adalah proses memperoleh respon – respon sebagai akibat adanya pelatihan khusus.

7. Hinzmant dalam bukunya The Psychology of Learning and Memory can affect the organism’s behavior. Belajar adalah suatu perubahan yang terjadi dalam diri organisme (manusia atau hewan) disebabkan oleh pengalaman yang dapat memengaruhi tingkah laku organisme tersebut. Jadi dalam pandangan Hinzmant, perubahan yang ditimbulkan oleh pengalaman tersebut baru dapat dikatakan belajar apabila memengaruhi organisme.

8. Reber dalam Dictionary of Psychology membatasi belajar dengan dua macam definisi:
a. The process of acquiring knowlegde, yakni proses memperoleh pengetahuan.
b. A relatively permanent change in respon potentiality which occurs as a result of reinforced practice, yaitu suatu perubahan kemampuan bereaksi yang relatif langgeng sebagai hasil praktik yang diperkuat.

9. Biggs dalam pendahuluan Teaching for Learning mendefinisikan belajar dalam tiga macam rumusan:
a. Kualitatif. Dalam rumusan ini, kata – kata seperti perubahan dan tingkah laku tidak lagi disebut secara eksplisit mengingat kedua istilah ini sudah menjadi kebenaran umum yang diketahui semua orang yang terlibat dalam proses pendidikan
b. Kuantitatif. Belajar berarti kegiatan pengisian atau pengembangan kemampuan kognitif dengan fakta sebanyak – banyaknya. Jadi belajar dipandang dari sudut banyaknya materi yang dikuasai siswa.
c. Institusional. Belajar dipandang sebagai proses validasi atau pengabsahan terhadap penguasaan siswa atas materi yang telah ia pelajari.

10. Drs. Slameto merumuskan pengertian belajar sebagai suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.

11. Moh. Surya (1997) : “belajar dapat diartikan sebagai suatu proses yang dilakukan oleh individu untuk memperoleh perubahan perilaku baru secara keseluruhan, sebagai hasil dari pengalaman individu itu sendiri dalam berinteraksi dengan lingkungannya”.

12. Gagne memberikan dua definisi tentang belajar:
a. Belajar adalah suatu proses untuk memperoleh motivasi dalam pengetahuan, keterampilan, kebiasaan, dan tingkah laku
b. Belajar adalah pengetahuan atau keterampilan yang diperoleh dari instruksi

Timbulnya keanekaragaman pendapat para ahli tersebut adalah fenomena yang wajar karena adanya perbedaan titik pandang. Selain itu, perbedaan antara satu situasi belajar dengan situasi belajar yang lainnya diamati oleh para ahli juga dapat menimbulkan perbedaan pandangan. Bertolak dari berbagai definisi yang telah diuraikan tadi, secara umum belajar dapat dipahami sebagai tahapan perubahan seluruh tingkah laku individu yang relatif menetap sebagai hasil pengalaman dan interaksi dengan lingkungan yang melibatkan proses kognitif. Sehubungan dengan pengertian ini, perlu diutarakan sekali lagi bahwa perubahan tingkah laku yang timbul akibat proses kematangan, keadaan gila, mabuk, lelah dan jenuh tidak dapat dipandang sebagai proses belajar.

Jika hakikat belajar adalah perubahan tingkah laku, maka ada beberapa perubahan tertentu yang dimasukkan ke dalam ciri – ciri belajar. Dalam hal ini, Moh Surya (1997) mengemukakan ciri-ciri dari perubahan perilaku, yaitu :
1. Perubahan yang disadari dan disengaja (intensional).
Perubahan perilaku yang terjadi merupakan usaha sadar dan disengaja dari individu yang bersangkutan. Begitu juga dengan hasil-hasilnya, individu yang bersangkutan menyadari bahwa dalam dirinya telah terjadi perubahan, misalnya pengetahuannya semakin bertambah atau keterampilannya semakin meningkat, dibandingkan sebelum dia mengikuti suatu proses belajar. Misalnya, seorang mahasiswa sedang belajar tentang psikologi pendidikan. Dia menyadari bahwa dia sedang berusaha mempelajari tentang Psikologi Pendidikan. Begitu juga, setelah belajar Psikologi Pendidikan dia menyadari bahwa dalam dirinya telah terjadi perubahan perilaku, dengan memperoleh sejumlah pengetahuan, sikap dan keterampilan yang berhubungan dengan Psikologi Pendidikan.

2. Perubahan yang berkesinambungan (kontinyu).
Bertambahnya pengetahuan atau keterampilan yang dimiliki pada dasarnya merupakan kelanjutan dari pengetahuan dan keterampilan yang telah diperoleh sebelumnya. Begitu juga, pengetahuan, sikap dan keterampilan yang telah diperoleh itu, akan menjadi dasar bagi pengembangan pengetahuan, sikap dan keterampilan berikutnya. Misalnya, seorang mahasiswa telah belajar Psikologi Pendidikan tentang “Hakekat Belajar”. Ketika dia mengikuti perkuliahan “Strategi Belajar Mengajar”, maka pengetahuan, sikap dan keterampilannya tentang “Hakekat Belajar” akan dilanjutkan dan dapat dimanfaatkan dalam mengikuti perkuliahan “Strategi Belajar Mengajar”.

3. Perubahan yang fungsional.
Setiap perubahan perilaku yang terjadi dapat dimanfaatkan untuk kepentingan hidup individu yang bersangkutan, baik untuk kepentingan masa sekarang maupun masa mendatang. Contoh : seorang mahasiswa belajar tentang psikologi pendidikan, maka pengetahuan dan keterampilannya dalam psikologi pendidikan dapat dimanfaatkan untuk mempelajari dan mengembangkan perilaku dirinya sendiri maupun mempelajari dan mengembangkan perilaku para peserta didiknya kelak ketika dia menjadi guru.

4. Perubahan yang bersifat positif.
Perubahan perilaku yang terjadi bersifat normatif dan menujukkan ke arah kemajuan. Misalnya, seorang mahasiswa sebelum belajar tentang Psikologi Pendidikan menganggap bahwa dalam dalam Prose Belajar Mengajar tidak perlu mempertimbangkan perbedaan-perbedaan individual atau perkembangan perilaku dan pribadi peserta didiknya, namun setelah mengikuti pembelajaran Psikologi Pendidikan, dia memahami dan berkeinginan untuk menerapkan prinsip – prinsip perbedaan individual maupun prinsip-prinsip perkembangan individu jika dia kelak menjadi guru.

5. Perubahan yang bersifat aktif.
Untuk memperoleh perilaku baru, individu yang bersangkutan aktif berupaya melakukan perubahan. Misalnya, mahasiswa ingin memperoleh pengetahuan baru tentang psikologi pendidikan, maka mahasiswa tersebut aktif melakukan kegiatan membaca dan mengkaji buku-buku psikologi pendidikan, berdiskusi dengan teman tentang psikologi pendidikan dan sebagainya.

6. Perubahan yang bersifat permanen.
Perubahan perilaku yang diperoleh dari proses belajar cenderung menetap dan menjadi bagian yang melekat dalam dirinya. Misalnya, mahasiswa belajar mengoperasikan komputer, maka penguasaan keterampilan mengoperasikan komputer tersebut akan menetap dan melekat dalam diri mahasiswa tersebut.

7. Perubahan yang bertujuan dan terarah.
Individu melakukan kegiatan belajar pasti ada tujuan yang ingin dicapai, baik tujuan jangka pendek, jangka menengah maupun jangka panjang. Misalnya, seorang mahasiswa belajar psikologi pendidikan, tujuan yang ingin dicapai dalam panjang pendek mungkin dia ingin memperoleh pengetahuan, sikap dan keterampilan tentang psikologi pendidikan yang diwujudkan dalam bentuk kelulusan dengan memperoleh nilai A. Sedangkan tujuan jangka panjangnya dia ingin menjadi guru yang efektif dengan memiliki kompetensi yang memadai tentang Psikologi Pendidikan. Berbagai aktivitas dilakukan dan diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut.

8. Perubahan perilaku secara keseluruhan.
Perubahan perilaku belajar bukan hanya sekedar memperoleh pengetahuan semata, tetapi termasuk memperoleh pula perubahan dalam sikap dan keterampilannya. Misalnya, mahasiswa belajar tentang “Teori-Teori Belajar”, disamping memperoleh informasi atau pengetahuan tentang “Teori-Teori Belajar”, dia juga memperoleh sikap tentang pentingnya seorang guru menguasai “Teori-Teori Belajar”. Begitu juga, dia memperoleh keterampilan dalam menerapkan “Teori-Teori Belajar”.

Belajar adalah key term (istilah kunci) yang paling vital dalam setiap usaha pendidikan, sehingga tanpa belajar sesungguhnya tidak pernah ada pendidikan. Sebagai suatu proses, belajar hampir selalu mendapat tempat yang luas dalam berbagai disiplin ilmu yang berkaitan dengan upaya kependidikan, misalnya psikologi pendidikan. Karena pentingnya arti belajar, maka bagian terbesar upaya riset dan eksperimen psikologi pendidikan pun diarahkan pada tercapainya pemahaman yang lebih luas dan mendalam mengenai proses perubahan manusia itu.

Perubahan dan kemampuan untuk berubah merupakan batasan dan makna yang terkandung dalam belajar. Karena kemampuan berubahlah, manusia terbebas dari kemandegan fungsinya sebagai khalifah di bumi. Selain itu, dengan kemampuan berubah melalui belajar itu, manusia secara bebas dapat mengeksplorasi, memilih, dan menetapkan keputusan–keputusan penting untuk kehidupannya.

Pada hakikatnya pendidikan atau belajar mempunyai tujuan, yaitu :
1. Untuk mengembangkan potensi kepribadian manusia sesuai dengan kodrat dan hakekatnya, yakni seluruh aspek pembawaannya seoptimal mungkin. Dengan demikian secara potensial keseluruhan potensi manusia diisi kebutuhannya supaya berkembang secara wajar.
a. Potensi jasmani (fisiologis dan panca indera), menurut ilmu kesehatan memerlukan gizi dan berbagai vitamin termasuk udara yang bersih dan lingkungan yang sehat sebagai prakondisi hidupnya.
b. Potensi – potensi rohaniah (psikologis dan hati nurani ), juga membutuhkan makanan. Makanan rohniah ini terutama kesadaran cinta kasih, kesadaran kebutuhan/keagamaan, sastra, dan filsafat. Hidup rohaniah ini pangkal kebahagiaan manusia.

2. Dengan mengingat proses pertumbuhan dan perkembangan kepribadian manusia bersifat hidup dan dinamis, maka pendidikan wajar berlangsung selama hidup.

Tujuan belajar menurut Soemitro sebagai mana yang dikutip Zahara Idris (1992) memiliki hirarki atau tingkatan sebagai berikut :
1. Tujuan umum belajar
a. Memahami, mengerti dan mencintai dirinya (individualitas)
b. Memahami, mencintai dan mengerti orang lain (sosialitoir)
c. Menyadari, memiliki norma kesusilaan dan nilai–nilai kemanusiaan
d. Bertindak dan berbuat sesuai dengan kesusilaan, nilai–nilai hidup atas tanggung jawab sendiri demi kebahagiaan dirinya dan masyarakat (moralitas)

2. Tujuan khusus belajar
a. Tujuan sementara, yaitu tujuan yang dicapai anak pada setiap fase – fase tertentu dari pendidikan
b. Tujuan tidak lengkap, yaitu tujuan yang berkaitan dengan aspek kepribadian tertentu
c. Tujuan intermedier (perantara), yaitu tujuan sebagai alat untuk mencapai tujuan lain, demi kelancaran pendidikan selanjutnya.
d. Tujuan insidental, yaitu tujuan yang bersifat sesaat/seketika.

Pada saat ini, kenyataannya tujuan belajar setiap individu memainkan peranan penting dalam mempertahankan kehidupan sekelompok umat manusia di tengah–tengah persaingan di antara bangsa – bangsa yang terlebih dahulu maju karena belajar. Selain itu banyak sekali orang tua, masyarakat, dan peserta didik yang mengukur keberhasilan belajar hanya dari hasil belajar berupa nilai (angka) yang tertera di dalam laporan (raport) bukan dilihat dari berbagai aspek yang lain.

Seorang anak dilihat sukses dalam belajar jika mendapatkan nilai yang baik dalam tugas, tes harian, tes tengah semester ataupu ujian akhir tanpa melihat dan memperhatikan proses yang dialami anak baik secara individual, sosial, maupun moralitas. Yang terpenting bagi mereka hanyalah nilai, tidak peduli bagaimana mereka mencapainya. Apakah itu berbuat curang ataupun tidak sudah tidak menjadi permasalahan lagi, karena orientasi mereka hanyalah bagaimana mendapatkan nilai yang terbaik agar dapat melanjutkan ke tingkat pendidikan selanjutnya yang memang mensyaratkan nilai sebagai acuan atau dasar dari diterima atau tidaknya mereka di sekolah yang mereka pilih.
Menurut Gagne (Abin Syamsuddin Makmun, 2003), perubahan perilaku yang merupakan hasil belajar dapat berbentuk :
1. Informasi verbal; yaitu penguasaan informasi dalam bentuk verbal, baik secara tertulis maupun tulisan, misalnya pemberian nama-nama terhadap suatu benda, definisi, dan sebagainya.

2. Kecakapan intelektual; yaitu keterampilan individu dalam melakukan interaksi dengan lingkungannya dengan menggunakan simbol-simbol, misalnya: penggunaan simbol matematika. Termasuk dalam keterampilan intelektual adalah kecakapan dalam membedakan (discrimination), memahami konsep konkrit, konsep abstrak, aturan dan hukum. Ketrampilan ini sangat dibutuhkan dalam menghadapi pemecahan masalah.

3. Strategi kognitif; kecakapan individu untuk melakukan pengendalian dan pengelolaan keseluruhan aktivitasnya. Dalam konteks proses pembelajaran, strategi kognitif yaitu kemampuan mengendalikan ingatan dan cara–cara berfikir agar terjadi aktivitas yang efektif. Kecakapan intelektual menitikberatkan pada hasil pembelajaran, sedangkan strategi kognitif lebih menekankan pada pada proses pemikiran.

4. Sikap; yaitu hasil pembelajaran yang berupa kecakapan individu untuk memilih macam tindakan yang akan dilakukan. Dengan kata lain. Sikap adalah keadaan dalam diri individu yang akan memberikan kecenderungan vertindak dalam menghadapi suatu obyek atau peristiwa, didalamnya terdapat unsur pemikiran, perasaan yang menyertai pemikiran dan kesiapan untuk bertindak.

5. Kecakapan motorik; ialah hasil belajar yang berupa kecakapan pergerakan yang dikontrol oleh otot dan fisik.

Sementara itu, Moh. Surya (1997) mengemukakan bahwa hasil belajar akan tampak dalam :
1. Kebiasaan; seperti : peserta didik belajar bahasa berkali-kali menghindari kecenderungan penggunaan kata atau struktur yang keliru, sehingga akhirnya ia terbiasa dengan penggunaan bahasa secara baik dan benar.

2. Keterampilan; seperti : menulis dan berolah raga yang meskipun sifatnya motorik, keterampilan-keterampilan itu memerlukan koordinasi gerak yang teliti dan kesadaran yang tinggi.

3. Pengamatan; yakni proses menerima, menafsirkan, dan memberi arti rangsangan yang masuk melalui indera-indera secara obyektif sehingga peserta didik mampu mencapai pengertian yang benar.

4. Berfikir asosiatif; yakni berfikir dengan cara mengasosiasikan sesuatu dengan lainnya dengan menggunakan daya ingat.

5. Berfikir rasional dan kritis yakni menggunakan prinsip-prinsip dan dasar-dasar pengertian dalam menjawab pertanyaan kritis seperti “bagaimana” (how) dan “mengapa” (why).

6. Sikap yakni kecenderungan yang relatif menetap untuk bereaksi dengan cara baik atau buruk terhadap orang atau barang tertentu sesuai dengan pengetahuan dan keyakinan.

7. Inhibisi (menghindari hal yang mubazir).

8. Apresiasi (menghargai karya-karya bermutu).

9. Perilaku afektif yakni perilaku yang bersangkutan dengan perasaan takut, marah, sedih, gembira, kecewa, senang, benci, was-was dan sebagainya.

Dalam mendorong keberhasilan mewujudkan tujuan belajar, motivasi merupakan penentu yang sangat penting, bagaikan bensin yang dapat menggerakan mesin mobil menuju tempat tujuannya. Bagitulah arti penting motivasi, sebagaimana yang didefinisikan oleh Elliot (2000) bahwa motivasi adalah keadaan internal yang menyebabkan kita bertindak, mendorong kita pada arah tertentu, dan menjaga kita tetap bersemangat pada aktivitas tertentu.Motivasi membantu siswa cepat memahami pelajaran secara lebih baik sehingga mampu meraih tujuan belajar.

Berkaitan dengan proses belajar siswa, motivasi belajar sangatlah diperlukan. Diyakini bahwa hasil belajar akan meningkat kalau siswa mempunyai motivasi belajar yang kuat. Motivasi belajar adalah keinginan siswa untuk mengambil bagian di dalam proses pembelajaran (Linda S. Lumsden: 1994). Siswa pada dasarnya termotivasi untuk melakukan suatu aktivitas untuk dirinya sendiri karena ingin mendapatkan kesenangan dari pelajaran, atau merasa kebutuhannya terpenuh. Ada juga Siswa yang termotivasi melaksanakan belajar dalam rangka memperoleh penghargaan atau menghindari hukuman dari luar dirinya sendiri, seperti: nilai, tanda penghargaan, atau pujian guru (Marx Lepper: 1988).

Menurut Hermine Marshall Istilah motivasi belajar mempunyai arti yang sedikit berbeda. Ia menggambarkan bahwa motivasi belajar adalah kebermaknaan, nilai, dan keuntungan-keuntungan kegiatan belajar belajar tersebut cukup menarik bagi siswa untuk melakukan kegiatan belajar. Pendapat lain motivasi belajar itu ditandai oleh jangka panjang, kualitas keterlibatan di dalam pelajaran dan kesanggupan untuk melakukan proses belajar (Carole Ames: 1990).

Menurut Ramayulis (2004 : 171) motivasi adalah suatu proses mengantarkan anak didik kepada pengalaman yang diinginkan agar mereka dapat belajar. Sebagai proses, motivasi mempunyai fungsi antara lain :
1. Memberi semangat dan mengaktifkan murid agar tetap berminat dan siap untuk belajar. Artinya seorang pendidik hendaknya tidak akan pernah berhenti memberi motivasi kepada anaknya agar terus belajar

2. Memusatkan perhatian anak pada tugas – tugas tertentu yang berhubungan dengan pencapaian belajar. Artinya pendidik harus memberikan perhatian kepada anak dan mengarahkan anak sesuai dengan bakat yang dimilikinya

3. Membantu memenuhi kebutuhan akan hasil jangka pendek dan hasil jangka panjang. Artinya pendidik hendaknya bisa memenuhi kebutuhan anak didiknya, baik yang bersifat moril maupun materil dalam jangka waktu yang relatif panjang.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa motivasi belajar adalah kesanggupan untuk melakukan kegiatan belajar karena didorong oleh keinginannya untuk memenuhi kebutuhan dari dalam dirinya ataupun yang datang dari luar. Kegiatan itu dilakukan dengan kesungguhan hati dan terus menerus dalam rangka mencapai tujuan.

Menurut Oemar Hamalik (2003 : 112 – 113) motivasi memiliki dua sifat, yaitu motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik.
1. Motivasi intrinsik adalah motivasi yang tercakup dalam situasi belajar yang bersumber dari kebutuhan dan tujuan – tujuan dari dalam diri sendiri. Motivasi ini sering disebut motivasi murni atau motivasi yang sebenarnya, yang timbul dari dalam diri peserta didik, misalnya keinginan mendapat keterampilan tertentu, memperoleh informasi dan pemahaman, mengembangkan sikap untuk berhasil. Motivasi ini timbul tanpa pengaruh dari luar dan hidup dalam diri peserta didik dan berguna dalam situasi belajar yang fungsional.

2. Motivasi ekstrinsik timbul sebagai akibat pengaruh dari luar individu, apakah karena adanya ajakan, suruhan, atau paksaaan dari orang lain sehingga dengan keadaan demikian siswa mau melakukan sesuatu atau belajar. Motivasi ini diperlukan, sebab pembelajaran di sekolah tidak semuanya menarik minat, atau sesuai dengan kebutuhan peserta didik.

Sebagian siswa mungkin memiliki antusiasme dan motivasi tinggi terhadap pelajaran yang diberikan guru. Namun, sebagian besar siswa yang lain membutuhkan guru mereka menginspirasi, memberikan tantangan, dan menstimulasi mereka. Bagi siswa yang bermotivasi diri rendah peranan guru sangat penting dalam meningkatkan motivasi ekstrinsiknya. Karakter dan tindakan guru di ruang kelas dapat mentransformasi derajat motivasi siswa sehingga menjadi lebih tinggi atau sebaliknya.

Sebagian besar siswa pada dasarnya akan merespon positif terhadap pengajaran kelas yang terorganisir dan guru yang tulus mencurahkan perhatian saat mengajar. Setiap aktivitas yang guru lakukan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran secara otomatis akan menambah motivasi belajar siswa. Tidak ada satu rumus dan formula instan yang dapat digunakan untuk memotivasi siswa. Kecuali kita memahami bahwa guru telah terdidik dan terlatih secara profesional dalam meningkatkan motivasi siswa. Secara ideal guru telah disiapkan dan terampil membangun cita-cita siswa.

Di samping guru, banyaknya faktor yang mempengaruhi motivasi siswa dalam belajar. Seperti yang diungkapkan oleh Bligh (1971) dan Sass (1989), motivasi siswa dalam belajar dipengaruhi oleh :
1. Ketertarikan siswa pada mata pelajaran.
2. Persepsi siswa tentang penting atau tidaknya materi tersebut
3. Semangat untuk meraih pencapaian
4. Kepercayaan diri siswa
5. Penghargaan diri siswa
6. Pengakuan orang lain
7. Besar kecilnya tantangan
8. Kesabaran
9. Ketekunan
10. Tujuan hidup yang hendak siswa capai.

Masing-masing siswa bisa dipengaruhi oleh faktor yang berbeda. Guru dapat mendorong siswa menjadi pembelajar mandiri yang bermotivasi tinggi melalui tips dan strategi berikut :
1. Menciptakan iklim belajar yang terbuka dan positif dengan menitikberatkan pada kebutuhan siswa saat ini, yaitu memenuhi apa yang menjadi motif awal ketertarikan mereka pada materi pelajaran.

2. Membuat siswa aktif berpartisipasi dalam pembelajaran. Siswa belajar dengan melaksanakan tindakan (doing), membuat (making), menulis (writing), merancang (designing), menciptakan (creating), dan memecahkan persoalan (solving). Kepasifan akan mengurangi motivasi dan keingintahuan siswa.

3. Mengajak siswa untuk menganalisis apa yang membuat kelas menjadi lebih atau kurang termotivasi. Hasil penelitian menyimpulkan setidaknya ada delapan karakteristik yang menjadi kontribusi utama pada motivasi siswa, yaitu :

1. Relevansi materi pelajaran
2. Pengaturan pengajaran
3. Kesesuaian tingkat kesulitan materi
4. Keterlibatan aktif siswa
5. Keberagaman
6. Hubungan antara guru dan siswa
7. Penggunaan contoh yang sesuai, kongkrit dan mudah dipahami
8. Antusiasme guru


4. Merancang tindakan pengajaran yang dapat memotivasi siswa
1. Menargetkan harapan yang tinggi tetapi realistik pada siswa
2. Membantu siswa merumuskan tujuan mereka
3. Memberitahukan siswa apa yang perlu mereka lakukan agar lulus mata pelajaran yang ada ajar dengan sukses
4. Membantu siswa menemukan manfaat dan pentingnya materi yang sedang dipelajari
5. Memperkuat motivasi diri siswa
6. Menghindari suasana kompetesi yang berlebihan antar siswa. Lebih baik mengarahkan siswa ke kompetisi kerja tim
7. Menunjukkan antusiasme Anda sebagai guru pada materi pelajaran

5. Merumuskan RPP yang dapat memotivasi siswa
1. Bertolak dari poin kekuatan dan ketertarikan siswa
2. Jika memungkinkan, memberikan pilihan pada siswa untuk menentukan bagian materi yang akan dibahas lebih mendalam
3. Meningkatkan level kesulitan belajar secara gradual sejalan dengan perkembangan semester
4. Memvariasikan cara Anda mengajar (role playing, debates, brainstorming, discussion, demonstrations, case studies, audiovisual presentations, guest speakers, atau small group work)

6. Mengurangi penekanan ke nilai
1. Memberikan penekanan pada pemahaman dan pembelajaran dibandingkan nilai
2. Menghindari penggunaan nilai sebagai ancaman
3. Merancang test yang mendorong siswa ke jenis pembelajaran yang Anda ingin dicapai oleh siswa. Jika ingin siswa belajar menghapal maka berikanlah soal hapalan. Namun, jika ingin siswa belajar menganalisis dan mengevaluasi, berikanlah soal yang mengarah ke sana.

7. Memotivasi siswa dengan menanggapi hasil kerja mereka
1. Memberikan umpan balik segera pada siswa
2. Memberikan penghargaan atas kesuksesan yang diraih
3. Menginformasikan kesuksesan kerja yang diraih teman mereka
4. Memberikan feedback negatif secara spesifik. Identifikasi kelemahan siswa terkait pada kinerjanya saat pengerjaan tugas, bukan pada siswa secara personal.
5. Menghindari komentar yang merendahkan diri siswa sehingga membuat mereka merasa tidak cakap.
6. Memberikan kesempatan bagi siswa untuk sukses dengan cara menugaskan hal yang tidak terlalu mudah maupun terlalu sulit.
7. Menghindari memberikan jawaban langsung pada pekerjaan rumah siswa. Berikan kesempatan pada siswa untuk berjuang menemukan jawaban
8. Membantu siswa merasa bahwa mereka adalah anggota yang berharga dalam komunitas belajarnya

8. Memotivasi siswa untuk membaca
1. Menugaskan siswa membaca materi bacaan setidaknya dua sesi sebelum dilakukan diskusi
2. Menugaskan siswa membuat pertanyaan dari bahan bacaan. sebagai reward, guru dapat mempertimbangkan pertanyaan siswa sebagai bahan ujian.
3. Menugaskan siswa untuk menuliskan beberapa kalimat yang dapat meringkas hasil bacaannya
4. Memberikan pertanyaan sederhana namun mendalam tentang bacaan tersebut. Sebagai contoh, Apakah kamu bisa memberikan satu atau dua poin dari bahan bacaan yang kamu anggap penting? atau Menurut kamu sub bab apa yang perlu kita review ulang dan diskusikan di kelas?
5. Mengadakan sesi membaca bersama di kelas secara bergantian
6. menyiapkan ujian untuk bahan yang tidak sempat didiskusikan

Dalam hal ini, E. Mulyasa ( 2003) menekankan pentingnya upaya pengembangan aktivitas, kreativitas, dan motivasi siswa di dalam proses pembelajaran.Dengan mengutip pemikiran Gibbs, E. Mulyasa (2003) mengemukakan hal-hal yang perlu dilakukan agar siswa lebih aktif dan kreatif dalam belajarnya, adalah:
1. Dikembangkannya rasa percaya diri para siswa dan mengurangi rasa takut;
2. Memberikan kesempatan kepada seluruh siswa untuk berkomunikasi ilmiah secara bebas terarah;
3. Melibatkan siswa dalam menentukan tujuan belajar dan evaluasinya;
4. Memberikan pengawasan yang tidak terlalu ketat dan tidak otoriter;
5. Melibatkan mereka secara aktif dan kreatif dalam proses pembelajaran secara keseluruhan.

Sementara itu, Widada (1994) mengemukakan bahwa untuk meningkatkan aktivitas dan kreativitas siswa, guru dapat menggunakan pendekatan sebagai berikut :
1. Self esteem approach; guru memperhatikan pengembangan self esteem (kesadaran akan harga diri) siswa.
2. Creative approach; guru mengembangkan problem solving, brain storming, inquiry, dan role playing.
3. Value clarification and moral development approach; guru mengembangkan pembelajaran dengan pendekatan holistik dan humanistik untuk mengembangkan segenap potensi siswa menuju tercapainya self actualization, dalam situasi ini pengembangan intelektual siswa akan mengiringi pengembangan seluruh aspek kepribadian siswa, termasuk dalam hal etik dan moral.
4. Multiple talent approach; guru mengupayakan pengembangan seluruh potensi siswa untuk membangun self concept yang menunjang kesehatan mental.
5. Inquiry approach; guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menggunakan proses mental dalam menemukan konsep atau prinsip ilmiah serta meningkatkan potensi intelektualnya.
6. Pictorial riddle approach; guru mengembangkan metode untuk mengembangkan motivasi dan minat siswa dalam diskusi kelompok kecil guna membantu meningkatkan kemampuan berfikir kritis dan kreatif.
7. Synetics approach; guru lebih memusatkan perhatian pada kompetensi siswa untuk mengembangkan berbagai bentuk metaphor untuk membuka inteligensinya dan mengembangkan kreativitasnya. Kegiatan pembelajaran dimulai dengan kegiatan yang tidak rasional, kemudian berkembang menuju penemuan dan pemecahan masalah secara rasional.

Sedangkan untuk membangkitkan motivasi belajar siswa, menurut E. Mulyasa (2003) perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1. Bahwa siswa akan belajar lebih giat apabila topik yang dipelajarinya menarik dan berguna bagi dirinya;
2. Tujuan pembelajaran harus disusun dengan jelas dan diinformasikan kepada siswa sehingga mereka mengetahui tujuan belajar yang hendak dicapai. Siswa juga dilibatkan dalam penyusunan tersebut;
3. Siswa harus selalu diberitahu tentang hasil belajarnya;
4. Pemberian pujian dan hadiah lebih baik daripada hukuman, namun sewaktu-waktu hukuman juga diperlukan;
5. Manfaatkan sikap-sikap, cita-cita dan rasa ingin tahu siswa;
6. Usahakan untuk memperhatikan perbedaan individual siswa, seperti : perbedaan kemampuan, latar belakang dan sikap terhadap sekolah atau subyek tertentu;
7. Usahakan untuk memenuhi kebutuhan siswa dengan jalan memperhatikan kondisi fisiknya, rasa aman, menunjukkan bahwa guru peduli terhadap mereka, mengatur pengalaman belajar sedemikian rupa sehingga siswa memperoleh kepuasan dan penghargaan, serta mengarahkan pengalaman belajar kearah keberhasilan, sehingga mencapai prestasi dan mempunyai kepercayaan diri.


Terlepas dari kompleksitas dalam kegiatan pemotivasian tersebut, dengan merujuk pada pemikiran Wina Senjaya (2008), di bawah ini dikemukakan beberapa petunjuk umum bagi guru dalam rangka meningkatkan motivasi belajar siswa
1. Memperjelas tujuan yang ingin dicapai.
Tujuan yang jelas dapat membuat siswa paham ke arah mana ia ingin dibawa. Pemahaman siswa tentang tujuan pembelajaran dapat menumbuhkan minat siswa untuk belajar yang pada gilirannya dapat meningkatkan motivasi belajar mereka. Semakin jelas tujuan yang ingin dicapai, maka akan semakin kuat motivasi belajar siswa. Oleh sebab itu, sebelum proses pembelajaran dimulai hendaknya guru menjelaskan terlebih dulu tujuan yang ingin dicapai. Dalam hal ini, para siswa pun seyogyanya dapat dilibatkan untuk bersama-sama merumuskan tujuan belajar beserta cara-cara untuk mencapainya.

2. Membangkitkan minat siswa.
Siswa akan terdorong untuk belajar manakala mereka memiliki minat untuk belajar. Oleh sebab itu, mengembangkan minat belajar siswa merupakan salah satu teknik dalam mengembangkan motivasi belajar. Beberapa cara dapat dilakukan untuk membangkitkan minat belajar siswa, diantaranya :
a. Hubungkan bahan pelajaran yang akan diajarkan dengan kebutuhan siswa. Minat siswa akan tumbuh manakala ia dapat menangkap bahwa materi pelajaran itu berguna untuk kehidupannya. Dengan demikian guru perlu enjelaskan keterkaitan materi pelajaran dengan kebutuhan siswa.
1. Sesuaikan materi pelajaran dengan tingkat pengalaman dan kemampuan siswa. Materi pelaaran yang terlalu sulit untuk dipelajari atau materi pelajaran yang jauh dari pengalaman siswa, akan tidak diminati oleh siswa. Materi pelajaran yang terlalu sulit tidak akan dapat diikuti dengan baik, yang dapat menimbulkan siswa akan gagal mencapai hasil yang optimal; dan kegagalan itu dapat membunuh minat siswa untuk belajar. Biasanya minat siswa akan tumbuh kalau ia mendapatkan kesuksesan dalam belajar.
2. Gunakan berbagai model dan strategi pembelajaran secara bervariasi, misalnya diskusi, kerja kelompok, eksperimen, demonstrasi, dan lain-lain.

3. Ciptakan suasana yang menyenangkan dalam belajar.
Siswa hanya mungkin dapat belajar dengan baik manakala ada dalam suasana yang menyenangkan, merasa aman, bebas dari rasa takut. Usahakan agar kelas selamanya dalam suasana hidup dan segar, terbebas dari rasa tegang. Untuk itu guru sekali-sekali dapat melakukan hal-hal yang lucu.

4. Berilah pujian yang wajar terhadap setiap keberhasilan siswa.
Motivasi akan tumbuh manakala siswa merasa dihargai. Memberikanpujian yang wajar merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan untuk memberikan penghargaan. Pujian tidak selamanya harus dengan kata-kata. Pujian sebagain penghargaan dapat dilakukan dengan isyarat, misalnya senyuman dan anggukan yang wajar, atau mungkin dengan tatapan mata yang meyakinkan.

5. Berikan penilaian.
Banyak siswa yang belajar karena ingin memperoleh nilai bagus. Untuk itu mereka belajar dengan giat. Bagi sebagian siswa nilai dapat menjadi motivasi yang kuat untuk belajar. Oleh karena itu, penilaian harus dilakukan dengan segera agar siswa secepat mungkin mengetahui hasil kerjanya. Penilaian harus dilakukan secara objektif sesuai dengan kemampuan siswa masing-masing.

6. Berilah komentar terhadap hasil pekerjaan siswa.
Siswa butuh penghargaan. Penghargaan bisa dilakukan dengan memberikan komentar positif. Setelah siswa selesai mengerjakan suatu tugas, sebaiknya berikan komentar secepatnya, misalnya dengan memberikan tulisan “bagus” atau “teruskan pekerjaanmu” dan lain sebagainya. Komentar yang positif dapat meningkatkan motivasi belajar siswa.

7. Ciptakan persaingan dan kerja sama.
Persaingan yang sehat dapat memberikan pengaruh yang baik untuk keberhasilan proses pembelajaran siswa. Melalui persaingan siswa dimungkinkan berusaha dengan sungguh-sungguh untuk memperoleh hasil yang terbaik. Oleh sebab itu, guru harus mendesain pembelajaran yang memungkinkan siswa untuk bersaing baik antara kelompok maupun antar-individu. Namun demikian, diakui persaingan tidak selamanya menguntungkan, terutama untuk siswa yang memang dirasakan tidak mampu untuk bersaing, oleh sebab itu pendekatan cooperative learning dapat dipertimbangkan untuk menciptakan persaingan antarkelompok.
Uraian di atas mendeskripsikan secara singkat mengenai tips dan strategi memotivasi siswa agar tujuan belajar mereka tidak hanya berorientasi kepada nilai saja dalam belajar. Tentunya rekan-rekan guru memiliki pengalaman dan permasalahan yang lebih nyata di lapangan. Semoga kita dapat mengembangkan motivasi guru untuk lebih kreatif dan inovatif dalam melaksanakan tugas mendidik siswa sehingga produk belajar siswa Indonesia bisa lebih kompetitif di tengah persaingan mutu internasional.

Daftar Pustaka
1. Antonio, S.M. 2008. Muhammad SAW : The Super Leader Super Manager. Jakarta : Tazkia Publishing
2. Baharuddin, 2009. Pendidikan dan Psikologi Perkembangan. Yogyakarta : Ar-Ruzz Media
3. Danim, Sudarwan. 2010. Profesionalisasi dan Etika Profesi Guru. Bandung : Alfabeta
4. Djamarah, S.B. 2008. Psikologi Belajar : Edisi 2. Jakarta : Rineka Cipta
5. Iim Waliman, dkk. 2001. Pengajaran Demokratis (Modul Manajemen Berbasis Sekolah). Bandung : Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat
6. Isnawati, N. 2010. Guru Positif – Motivatif. Yogyakarta : Laksana
7. Mulyasa, E. 2008. Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru. Bandung : PT Remaja Rosdakarya
8. Thoha, Miftah. 2008. Perilaku Organisasi : Konsep Dasar dan Aplikasinya. Jakarta : PT RajaGrafindo persada
9. Nasution, S. 2005. Asas – Asas Kurikulum. Jakarta : Bumi Aksara
10. Smith, M.K. 2009. Teori Pembelajaran dan Pengajaran. Terjemahan Abdul Qodir Shaleh. Yogyakarta : Mirza Media Pustaka
11. Soemanto, Wasty. 2006. Psikologi Pendidikan : Landasan Kerja Pemimpin Pendidikan. Jakarta : Rineka Cipta
12. Syah, D; Supardi ; dan Muslihah, E. 2009. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta : Diadit Media
13. Syah, Muhibbin. 2009. Psikologi Belajar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
14. Syah, Muhibbin. 2010. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung : Remaja Rosdakarya
15. Sudrajat, A. 2008. Makalah dan Artikel Psikologi Pendidikan. http://akhmadsudrajat.wordpress.com/index.html
16. Sutikno, Sobry. PERAN GURU DALAM MEMBANGKITKAN MOTIVASI BELAJAR SISWA. http://www.bruderfic.or.id/h-129/peran-guru-dalam-membangkitkan-motivasi-belajar-siswa.html.
17. Wina Senjaya. 2008. Strategi Pembelajaran; Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
18. Yamin, M; dan Maisah. 2009. Manajemen Pembelajaran Kelas : Strategi Meningkatkan Mutu Pembelajaran. Jakarta : Gaun Persada

Read More..

Senin, 11 Juni 2012

MENANGANI ANAK HIPERAKTIF DI KELAS



“Aduh anak ini ga bisa duduk diam di bangku, jalan-jalan terus” Demikian sedikit keluhan dari seorang guru kelas yang mengeluhkan anak didiknya karena anak itu jalan-jalan terus di kelas. Akibat tidak bisa duduk diam banyak tugas-tugas belajarnya tidak selesai atau tidak dikerjakan. Teman-temannya pun menganggap ia anak nakal dan pemalas.

Perilaku yang digambarkan di atas merupakan sedikit contoh dari perilaku anak hiperaktif. Sebagai guru kita harus waspada terhadap gangguan perilaku hiperaktif itu. Mewaspadai perilaku hiperaktif ini menjadi penting karena perilaku hiperaktif jika tidak diwaspadai dan tidak ditangani dengan tepat maka akan merugikan/mengganggu lingkungan belajar juga merugikan diri anak itu sendiri.

Agar lebih waspada kita kenali terlebih dahulu karakteristik anak hiperaktif. Berdasarkan kajian dari berbagai ahli anak hiperaktif memiliki tiga karakteristik utama, yaitu
(1) rentang perhatian yang kurang sehingga anak mudah lupa, tugas tidak tuntas, cenderung menghindari tugas, sulit mencurahkan perhatian terhadap tugas-tugas atau kegiatan bermain

(2) memiliki perilaku impulsif yang menyebabkan anak ini sulit diterima temannya karena sering merebut barang miliki orang lain/temannya, sering memotong pembicaraan, banyak bicara, mengganggu teman

(3) selalu bergerak sulit untuk duduk diam/tenang memperhatikan, aktivitas motorik yang berlebihan, sulit mengatur kegiatan.

Berdasarkan karakteristik di atas maka jika di kelas terdapat anak hiperaktif dapat dibayangkan bahwa anak itu akan menjadi gangguan dalam proses belajar mengajar, sementara guru sendiri sudah cukup sibuk untuk memperhatikan anak-anak lain. Kesibukan guru akan semakin bertambah dengan hadirnya anak hiperaktif yang membutuhkan perhatian atau bimbingan yang lebih dari guru. Namun demikian sebagai guru yang baik tentunya akan mencari solusi terbaik untuk mengatasi gangguan perilaku hiperaktif pada anak didiknya.

Melalui tulisan ini, penulis ingin berbagi sedikit pengalaman dalam menangani anak hiperaktif. Untuk menangani perilaku hiperaktif, penanganan harus dilakukan secara bertahap dan fokus pada gangguan yang akan dikurangi/dihilangkan atau perilaku mana yang akan dikembangkan.

Untuk memulai langkah penanganan, kita harus mencatat perilaku mana yang akan dihilangkan dan perilaku mana yang akan dikembangkan. Dari mana kita mendapat data tentang perilaku itu, bisa kita peroleh melalui pengamatan terhadap perilaku anak di kelas selain itu dapat pula diperoleh melalui wawancara dengan orangtua anak. Setelah mencatat dan mengelompokkan perilaku yang akan dihilangkan/dikurangi dan perilaku yang akan dikembangkan, selanjutnya dapat dilakukan teknik-teknik penanganan yang penulis aplikasikan berdasarkan Sugiarmin (2005) berikut ini.

1. Menghilangkan atau mengurangi tingkah laku yang tidak dikehendaki
Carilah faktor pemicu dari perilaku yang tidak dikehendaki itu muncul. Contoh anak tidak bisa duduk diam sering jalan-jalan di kelas. Carilah alasan mengapa anak itu tidak bisa duduk diam. Misal, alasannya karena anak membutuhkan perhatian, merasa bosan, ingin udara segar, dan sebagainya. Hilangkan atau atasi faktor pemicu tersebut.

Cara menghilangkan factor pemicu dapat dilakukan melalui teknik-teknik
(a) ekstingsi, yaitu tidak merespon tingkah laku yang tidak dikehendaki sampai anak menghentikannya. Contoh, guru mengabaikan siswa yang berbicara tanpa mengangkat tangan terlebih dahulu. Atau guru dan teman-temannya mengabaikan anak yang mengganggu sampai ia bosan atau sadar bahwa guru dan temannya tidak terpancing

(b) satiasi, yaitu memberikan apa yang anak inginkan sebelum menuntutnya. Contohnya, memberikan perhatian sebelum menuntut perhatian, segera beralih pada kegiatan lain sebelum anak merasa bosan, anak yang suka memukul-mukul meja mintalah anak tersebut untuk terus memukul meja

(c) time out. Anak dipindahkan dari tempat di mana tingkah laku yang tidak dikehendaki terjadi

(d) hukuman. Cara ini jarang diterapkan karena khawatir dampak negatifnya, namun jika akan diterapkan maka perlu memperhatikan hal-hal berikut ini:
- diberlakukan untuk perilaku yang sangat membahayakan dan agar tidak berlanjut misalnya perilaku agresif,
- jika prosedur lain tidak berhasil,
- berikan hukuman ringan yang terbukti efektif
- jangan menghukum dalam keadaan marah

2. Mengembangkan tingkah laku yang dikehendaki
Tingkah laku yang baik tentunya harus dipertahankan dan dikembangkan menjadi lebih baik lagi. Untuk melakukannya dapat dilakukan dengan cara penguatan (reinforcement). Setiap perilaku yang dikehendaki akan memperoleh penguatan berupa imbalan. Imbalan dapat berupa benda atau yang lain, misalnya pujian.
Ketika anak berbuat benar kemudian diperkuat dengan imbalan, diharapkan anak akan mempertahankannya untuk selanjutnya dapat dikembangkan. Imbalan atau hadiah sebaiknya diberikan segera setelah perilaku yang dikehendaki terjadi.

Demikian sedikit teknik-teknik penanganan anak hiperaktif di kelas. Pilihlah teknik yang paling tepat sesuai dengan perilaku yang akan ditangani. Semoga bermanfaat.
Read More..

LAHIRNYA PENDIDIKAN INKLUSI



Sebelum munculnya pemikiran tentang pendidikan inklusif, setidaknya dilatarbelakangi adanya sejumlah orang yang terpinggirkan atau ditolak sehingga tidak dapat berpartisipasi dalam kehidupan sosial, ekonomi, politik, budaya, dan pendidikan. Faktor utama yang menyebabkan mereka terpinggirkan/tertolak adalah faktor pendidikan (UNESCO, 1990) sehingga pendidikan menjadi isu utama untuk mengatasi masalah ini.

Jika kita mengacu pada data International Consultative Forum on Education for All (2000) di dunia ini terdapat 113 juta orang anak-anak usia pendidikan dasar yang tidak sekolah. 90% dari jumlah itu berada di negara yang penghasilannya rendah hingga menengah serta lebih dari 80 juta orang anak-anak seperti itu tinggal di negara-negara Afrika. Kalaupun ada yang mampu sekolah, sebagian dari mereka drop out/putus sekolah padahal pendidikannya belum selesai.

Selain data tersebut di atas, ada pula data yang menyebutkan bahwa ada sekelompok orang karena perbedaan gender menyebabkan orang itu tidak dapat sekolah, misalnya di Afghanistan, ada budaya yang melarang kaum perempuan untuk bersekolah dan keluar rumah, kalaupun bisa sekolah dan keluar rumah sangatlah terbatas. Masih banyak data lain yang menyebutkan persoalan mengapa seseorang atau sejumlah orang tidak dapat menikamti haknya untuk memperoleh pendidikan, diantaranya karena masalah geografis, kondisi peperangan, bencana alam, dan lain-lain.

Kondisi itu tentunya sangat memprihatinkan karena mereka akan menjadi orang yang termarginalkan dan tertolak oleh masyarakat.
Itu semua ternyata menjadi permasalahan disetiap negara, bahkan di negara yang dikatakan sebagai negara maju sekalipun, hanya saja di negara maju jumlahnya lebih sedikit dibandingkan negara “miskin” dan berkembang. Jadi hampir di seluruh dunia memiliki persoalan yang sama, bagaimana semua warganya dapat mengakses atau memperoleh pendidikan, ternyata pendidikan itu adalah hak setiap warga negara, sehingga tidak ada lagi sejumlah orang yang terpinggirkan (kaum marginal) dan tertolak dalam kehidupan sosial, politik, ekonomi, budaya serta pendidikan. Semua negara memprihatinkan itu semua.

Berdasarkan itu maka negara-negara yang tergabung dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mencoba mencari solusinya. Mereka, melalui lembaga di bawah naungan PBB, yaitu UNESCO, mengusulkan untuk mengadakan suatu konfrensi internasional. Usulan itu diterima oleh PBB karena tidak bertentangan dengan Deklarasi tentang Hak Azasi Manusia (1948) dan konvensi Hak Anak (1989). Konfrensi pun terlaksana pada tahun 1990 di Thailand dengan nama The Jomitien World Conference on Education for All, diikuti oleh hampir seluruh negara anggota PBB, beberapa organisasi di bawah naungan PBB (UNESCO, UNICEF, WHO, dll) serta Lembaga Swadaya Masyarakta (LSM) nasional dan internasional. Di dalam konfrensi itu, mereka berupaya serius mencari solusi. Dalam konfrensi ini lah munculnya konsep pendidikan untuk semua.

Sebagaimana dinyatakan di atas bahwa konferensi tersebut dilandasi oleh Deklarasi tentang Hak Azasi Manusia (PBB 1948) (yang menyatakan tentang hak pendidikan dan partisipasi penuh bagi semua orang) dan Konvensi Hak Anak (1989) , itulah dokumen internasional pertama yang menjadi rujukan hukum munculnya pemikiran pendidikan inklusif dikemudian hari. Selanjutnya, UU dan dokumen hasil konfrensi tersebut terus digunakan untuk menjadi landasan dalam memecahkan masalah marginalisasi itu.

Hasil dari konfrensi diantarnya menyatakan bahwa:
(1) memberi kesempatan kepada semua anak untuk sekolah, dan
(2) memberikan pendidikan yang sesuai bagi semua anak. Dalam kenyataannya hasil konfrensi belum termasuk di dalamnya anak-anak berkebutuhan khusus.

Mengingat hasil konfrensi itu, memunculkan pemikiran kritis dari organisasi penyandang cacat dan anak berkebutuhan khusus serta didukung oleh beberapa negara. Kemudian mereka membuat suatu konfrensi dengan landasan konfrensi sebelumnya ditambah dengan Peraturan Standar tentang KEsamaan KEsempatan untuk Orang-Orang Penyandang Cacat (PBB, 1993). Konfrendii ini dinamai The Salamanca World Conference on Special Needs Education (UNESCO, 1994). Dari konfrensi inilah muncul prinsip-prinsi dan konsep dasar dari pendidikan inklusif, yang selanjutnya dikenal dengan pernyataan Salamanca tentang pendidikan inklusif.

Untuk mengukuhkan pernyataan dan konsep pendidikan inklusif yang dihasilkan di Salamanca dan diharapkan menjadi konsep milik bersama maka PBB melalui UNESCO menyelenggarakan konfrensi pendidikan untuk semua (PUS) kedua di Dakar tahun 2000. Dari Konfrensi PUS kedua ini lah mulai muncul kerangka aksi pelaksanaan pendidikan inklusif yang dibagi berdasarkan wilayah/region. Contohnya, pada bulan oktober 2002 kelompok kerja Asia Pasifik meluncurkan Aksi Biwako Millenium Framework (BMF) sebagai kerangka kerja regional untuk panduan negara-negara di Asia Timur dan Pasifik yang dalam pelaksanaannya diperluas menjadi Asia Pasifik untuk sepuluh tahun yang akan datang (Raharja, 2006)
Read More..

SLOW LEARNER



Siapakan slow learner itu?
Slow learner atau anak lambat belajar adalah mereka yang memiliki prestai belajar rendah (di bawah rata-rata anak pada umumnya) pada salah satu atau seluruh area akademik, tapi mereka ini bukan tergolong anak terbelakang mental. Skor tes IQ mereka menunjukkan skor anatara 70 dan 90 (Cooter & Cooter Jr., 2004; Wiley, 2007).
Dengan kondisi seperti demikian, kemampuan belajarnya lebih lambat dibandingkan dengan teman sebayanya.

Bagaimanakan kemampuan mereka?
Tidak hanya kemampuan akademiknya yang terbatas tapi juga pada kemampuan-kemampuan lain, dianataranya kemampuan koordinasi (kesulitan menggunakan alat tulis, olah raga, atau mengenakan pakaian). Dari sisi perilaku, mereka cenderung pendiam dan pemalu, dan mereka kesulitan untuk berteman. Anak-anak lambat belajar ini juga cenderung kurang percaya diri. Kemampuan berpikir abstraknya lebih rendah dibandingkan dengan anak pada umumnya. Mereka memiliki rentang perhatian yang pendek.

Anak dengan SL memiliki ciri fisik normal. Tapi saat di sekolah mereka sulit menangkap materi, responnya lambat, dan kosa kata juga kurang, sehingga saat diajak berbicara kurang jelas maksudnya atau sulit nyambung.
Apa yang dapat kita lakukan?
1. Isi materi diulang-ulang lebih banyak dibandingkan dengan teman sebayanya.
2. Sediakan waktu khusus untuk membimbingnya secara individual.
3. Waktu materi pelajaran jangan terlalu panjang dan tugas-tugas atau pekerjaan rumah lebih sedikit dibandingkan dengan teman-temannya.
4. Lebih baik menanamkan pemahaman suatu konsep daripada harus mengingat suatu konsep.
5. Gunakan peragaan dan petunjuk visual.
6. Konsep-konsep atau pengertian-pengertian disajikan secara sederhana.
7. Jangan mndorong mereka untuk berkompetisi dengan anak-anak yang memiliki kemampuan yag lebih tinggi.
8. Pemberian tugas-tugas harus terstruktur dan kongkrit.
9. Gunakan berbagai pendekatan dan motivasi belajar.
10. Berikan kesempatan kepada anak untuk bereksperimen dan praktek langsung tentang berbagai konsep dengan menggunakan bahan-bahan kongkrit atau dalam situasi simulasi.
11. Untuk mengantarkan pengajaran materi baru maka kaitkan materi tersebut dengan materi yang telah dipahaminya.
12. Instruksi yang sederhana memudahkan anak untuk memahami dan mengikuti instruksi tersebut. Pada saat memberikan arahan harus berhadapan.
13. Berikan dorongan kepada orangtua untuk terlibat dalam pendidikan anaknya di sekolah. Membimbing mengerjakan PR, menghadiri pertemuan-pertemuan di sekolah, berkomunkasi dengan guru, dll.
Read More..

PENGAJARAN MENULIS (HANDWRITING)



Menulis merupakan bagian dari alat komunikasi. Melalui tulisan kita dapat menyampaikan pesan, pemikiran atau gagasan-gagasan yang ingin kita sampaikan kepada orang lain sehingga orang lain mengerti apa yang kita maksud atau inginkan. Di dalam aktivitas menulis terjadi suatu proses yang rumit karena di dalamnya melibatkan berbagai modalitas, mencakup gerakan tangan, lengan, jari, mata, koordinasi, pengalaman belajar, dan kognisi, semua modalitas itu bekerja secara terintegrasi. Oleh karena itu pelajaran menulis terasa begitu berat dan melelahkan. Tidak jarang anak yang baru belajar menulis menolak untuk menulis banyak-banyak atau bahkan ada juga anak yang kesulitan dalam belajar menulis.

Pelajaran menulis mencakup tiga aspek, yaitu
(1) menulis dengan tangan,
(2) mengeja, (
(3) dan menulis ekspresif atau komposisi.
Namun yang akan dibahas disini adalah pengajaran menulis pada aspek menulis dengan tangan (handwriting).

Pengajaran menulis dengan tangan (handwriting) sering disebut pula dengan pengajaran menulis permulaan. Di dalam menulis permulaan dipengaruhi berbagai faktor kematangan atau kesiapan, yaitu faktor (1) motorik, (2) perilaku ketika menulis, (3) persepsi, (4) memori, (5) kemampuan cross modal, (6) penggunaan tangan dominan (kidal atau bukan), (7) kemampuan memahami instruksi (Lerner, 1985; Sunardi dan Sugiarmin, 2001).

Sebelum anak belajar dan mampu menulis huruf maka faktor-faktor kesiapan tersebut harus dimatangkan terlebih dahulu, terutama bagi anak-anak berkebutuhan khusus yang mengalami hambatan dalam motorik, persepsi dan kognitif.
Di bawah ini akan dijelaskan aktivitas menulis permulaan atau menulis dengan tangan bagi anak-anak berkebutuhan khusus yang mengalami hambatan motorik, persepsi dan kognitif.

Strategi Pengajaran Menulis Permulaan

A. Aktivitas kesiapan menulis permulaan
1. Membiasakan memegang alat tulis
- Mewarnai dengan menggunakan kuas. Ukuran gagang kuas digradasikan mulai dari kuas yang bergagang besar sampai yang terkecil. Dalam proses mewanai ini menekankan pada pembiasaan bukan pada hasil mewarnainya.
- Mencorat-coret dengan spidol besar.
- Menggambar dengan kapur tulis
- Mewarnai dengan pensil warna yang gagangnya berbentuk segitiga.
- Bagi anak yang sulit untuk memegang alat tulis karena ada hambatan pada motorik jarinya maka dapat menggunakan alat bantu khusus, dimana alat tulis dapat terikat pada genggaman anak.

2. Finger painting. Dalam aktifitas ini dapat digunakan berbagai media dan warna, dapat menggunakan tepung kanji, adonan kue, pasir dan sebagainya. Aktifitas ini penting dilakukan sebab akan memberikan sensai pada jari sehingga dapat merasakan kontrol gerakan jarinya dan membentuk konsep gerak membuat huruf.

3. Menggunting. Latihan menggunting dapat mengembangkan kemampuan motorik halus jari tangan, koordinasi mata-tangan, keseimbangan, persepsi visual dan konsentrasi. Langkah pertama dalam latihan menggunting adalah anak diperkenalkan dengan cara kerja gunting. Sebagai awal gunakanlah gunting yang gagangnya ringan dan mudah dibuka-tutu. Awalnya anak boleh mengggunakan kedua tangannya untuk memegang gagang gunting. Kedua, ajarkan anak menggunting di antara dua garis lurus. Setelah mahir menggunting diantara dua garis lurus kemudian tingkatkan dengan garis zig-zag, melengkung dan melingkar. Ketiga, tahap mahir, yaitu anak menggunting bebas tetapi rapih. Perlu diperhatikan bagi anak yang mengalami hambatan motorik sehingga tidak bisa mengkoordinasikan tangannya untuk memegang kerta sambil menggunting maka ujung kertasnya diisolatif pada meja. Bagi yang sama sekali tidak dapat menggunakan gunting maka aktifitas merobek dapat menjadi pilihan.

4. Menulis di udara. Anak-anak diajak beraktifitas menulis atau menggambar sesuatu di udara dengan tanpa menggunakan media dan alat tulis. Anak mengacungkan telunjuknya kemudian mulailah gerakkan-gerakan menulis atau menggambar sesuatu di udara dengan telunjuk itu.

5. Melipat. Ajarkan anak melipat kertas mulai dari satu kali lipatan sampai pada lipatan yang rumit. Lebih menarik lagi jika melipat kertasnya membentu sesuatu.

6. Menempel. Aktifitas menempel dapat membantu sensasi perabaan dan koordinasi mata dan tangan.

7. Menggambar/menulis di atas media bertekstur.

8. Membuka dan memasangkan mur/baut.

B. Kesiapan menulis huruf

1. Menarik garis.
Anak diarahkan untuk melakukan aktifitas menarik garis lurus, lengkung, dan melinggkar. Pada awalnya arah tarikan garis tidak ditentukan, selanjutnya jika sudah terbiasa menarik garis tersebut, mulai diarahkan mulai menarik garis dari kiri ke kanan dan dari atas ke bawah.

2. Membuat bentuk-bentuk bangun datar, persegi, segitiga, dan lingkaran.

3. Menjiplak bentuk-bentuk huruf.

4. Menelusuri garis (tracing)

5. Menyambungkan titik untuk membentuk huruf.

6. Membuat huruf pada buku berpetak besar

7. Membuat huruf pada buku garis tiga

Demikianlah sekilas tentang pengajaran menulis dengan tangan (handwriting). Semoga uraian yang singkat ini bermanfaat dan dapat memberikan inspirasi untuk kita semua. Read More..