Kesulitan belajar matematikan disebut juga diskalkulia (dyscalculia) (Lerner, 1988:430). Istilah diskalkulia memiliki konotasi medis yang memandang adanya keterkaitan dengan gangguan system saraf pusat.
Karakteristik
Menurut Lerner (1981:357) ada beberapa karakteristik anak berkesulitan belajar matematika, yaitu:
1. Gangguan hubungan keruangan
Kesulitan dalam memahami konsep atas-bawah, puncak-dasar, jauh-dekat, tinggi-rendah, depan-belakang, dan awal-akhir. Sehingga anak tidak mampu merasakan jarak antara angka-angka pada garis bilangan atau penggaris, dan mungkin anak juga tidak tahu bahwa angka 3 lebih dekat ke angka 4 dari pada ke angka 6.
2. Abnormalitas persepsi visual
Anak mengalami kesulitan untuk melihat berbaai objek dalam hubungannya dengan kelompok atau set. Misalnya kesulitan menjumlahkan dua kelompok benda yang masing-masing terdiri dari lima dan empat anggota. Anak semacam itu mungkin akan menghitung satu per satu anggota tiap kelompok lebih dahulu sebelum menjumlahkannya. Mereka juga sering kesulitan membedakan bentuk-bentuk geometri.
3. Asosiasi visual-motor
Anak sering tidak dapat menghitung benda-benda secara berurutan sambil menyebutkan bilangannya.
4. Perseverasi
Ada anak yang perhatiannya melekat pada suatu objek saja dalam jangka waktu yang relative lama. Contoh:
1. + 3 = 7
2. + 3 = 8
5 + 2 = 7
5 + 4 = 9
4 + 4 = 9
3 + 4 = 9
5. Kesulitan mengenal dan memahami symbol
6. Gangguan penghayatan tubuh
Anak kesulitan memahami hubungan bagian-bagian tubuhnya sendiri.
Skor performance IQ jauh lebih rendah dibandingkan dengan skor verbal.
Kekeliruan dalam proses perhitungan
Kekurangan Pemahaman Tentang Simbol
Anak-anak belum memahami simbol-simbol dasar perhitungan seperti simbol jumlah (+), kurang (-), dan sama dengan (=).
1. Nilai Tempat
Ketidak pahaman terhadap nilai tempat banyak diperlihatkan oleh anak seperti berikut ini:
75 - 27 = 58
Anak tidak memahami nilai tempat bilangan 7 pada bilangan 75, sehingga anak menghitung:
15 – 7 = 8 dan 7 – 2 = 5 (bilangan 7 harusnya berubah jadi 6), jadi hasilnya 58. jawaban yang benar seharusnya 48.
68 + 13 = 71
Pada soal 68 + 13, anak tidak menjumlahkan bilangan 1 puluhan sebagai hasil dari 8 + 3 = 11. Seharusnya 1 puluhan dijumlahkan dengan 6 + 1 (1+ 6 + 1 = 8). Sehingga jumlah yang benar adalah 81.
Anak yang mengalami kekeliruan semacam itu dapat juga karena lupa cara menghitung persoalan pengurangan atau penjumlahan bersusun ke bawah, sehingga kepada anak tidak cukup hanya diajak memahami nilai tempat tetapi juga diberi latihan yang cukup.
2. Penggunaan Proses yang Keliru
Kekeliruan dalam penggunaan proses penghitungan dapat dilihat pada contoh berikut ini:
Mempertukarkan simbol-simbol
6 X 2 = 8
Anak belum memahami simbol X (perkalian). Sehingga simbol X dianggap penjumlahan menjadi 6 + 2 = 8. Seharusnya 6 x 2 = 12.
2. Jumlah satuan dan puluhan ditulis tanpa memperhatikan nilai tempat
83 + 67 = 1410
Kekeliruan yang terjadi adalah anak menghitung 3 + 7 = 10 kemudian 8 + 6 = 14, hasilnya 1410.
Jawaban yang benar seharusnya adalah 150.
Contoh format asesmen
Nama :
TTL :
Kelas :
Tgl. Asesmen :
No
|
Kemampuan
|
Keterangan
|
1
|
Gangguan hubungan keruangan
|
...
|
2
|
Abnormalitas persepsi visual
|
...
|
3
|
Asosiasi visual-motor
|
...
|
4
|
Perseverasi
|
...
|
5
|
Kesulitan mengenal dan memahami simbol
|
...
|
6
|
Gangguan penghayatan tubuh
|
...
|
7
|
Kekeliruan dalam proses perhitungan
|
...
|
Penanganan
Menyiapkan anak belajar Matematika
Pembelajaran pra berhitung meliputi klasifikasi, seriasi, korespondensi, dan konservasi (Piaget, 1965 dalam Mercer dan Mercer, 1989:188).
1. Klasifikasi
Piaget (1965) yang dikutip oleh Mercer & Mercer (1989:188) mengatakan bahwa klasifikasi adalah satu dari banyak kegiatan-kegiatan intelektual dasar yang harus dikuasai sebelum belajar bilangan. Klasifikasi melibatkan hubungan persamaan, perbedaan, dan pengkategorisasian (categorizing) obyek menurut sifat-sifat khususnya. Copeland (1979; dalam Mercer & Mercer, 1989) mengatakan bahwa banyak anak-anak yang menguasai keterampil¬an pengklasifikasian pada usia 5-7 tahun.
Klasifikasi dapat mencakup: (a) mengelompokan berdasarkan warna, yaitu mengelompokkan dua warna, mengelompokkan tiga warna dan mengelompokkan empat warna; (b) mengelompokan berdasarkan bentuk yaitu mengelompokkan bentuk lingkaran, bentuk segitiga, bentuk segiempat dan bentuk segipanjang; (c) mengelompokan berdasarkan ukuran, yaitu mengelompokan objek ukuran kecil, obyek yang sedang dan obyek yang besar.
2. Ordering (Mengurutkan) dan Seriasi
Ordering (mengurutkan) adalah kemampuan mengurutkan obyek berdasarkan tipe atau pola tertentu sehingga ada pemetaan hubungan dari urutan. Misalnya, (a) anak mengurutkan pola X – O – X – O – X – …. (b) mengurutkan obyek berdasarkan pola warna, misalnya mengurutkan 3 pola warna dan mengurutkan 4 pola warna, (c) mengurutkan obyek berdasarkan pola bentuk, contohnya mengurutkan 3 pola bentuk dan mengurutkan pola 4 bentuk.
Sedangkan seriasi adalah menyusun obyek berdasarkan ukurannya mulai dari yang terpendek sampai yang paling panjang atau dari yang terkecil sampai yang terbesar (Homdijah, 2004:193).
Ordering dan seriasi menjadi aspek pra berhitung karena berkaitan dengan sifat bilangan dalam aritmatika/berhitung yang memiliki sifat keteraturan yang disusun secara terpola dan berurut. Buktinya, yaitu bilangan itu di susun mulai dari nilai yang terkecil sampai yang terbesar: 1 kemudian 2, setelah 2, 3 dan seterusnya (1, 2, 3, 4, dan seterusnya). Urutan bilangan itu pun berseri. Satu seri terdiri dari sepuluh bilangan dan disusun dari yang terkecil sampai yang terbesar. Misalnya, 1 sampai 10, 11 sampai 20 dan seterusnya.
3. Korespondensi
Korespondensi adalah keterampilan memahami jumlah satu set obyek pada suatu tempat adalah sama banyaknya dengan satu set obyek pada tempat yang lain tanpa menghiraukan karakteristik obyek tersebut (Mercer dan Mercer, 1989:189).
Contoh pada aspek ini misalnya; (a) anak menilai jumlah obyek yang sama tapi ukuran obyek itu berbeda (10 biji kancing kecil dalam satu gelas dengan 10 biji kancing besar dalam gelas yang lain); (b) menilai jumlah dua obyek yang berbeda (2 pencil dengan 2 pulpen ); (c) menghubungkan antara isi/nilai dengan lambang bilangan (gambar satu telur dihubungkan dengan lambang bilangan 1, gambar 5 buah apel dihubungkan dengan lambang bilangan 5.
Keterkaitan aspek korespondensi dengan keterampilan berhitung adalah menanamkan konsep pada anak bahwa adanya hubungan antara isi/nilai dengan lambang bilangan, sehingga anak mampu menghubungkan antara isi dan lambang bilangan. Meskipun lambang bilangan itu ditulis besar-besar tetapi isi/nilainya tetap. Lambang bilangan 1 artinya memiliki isi/nilai satu. Oleh karena itu dalam korespondensi ini pun anak dilibatkan dalam aktifitas menghubungkan antara lambang bilangan dengan isi/nilainya.
5. Konservasi
Konservasi adalah banyaknya obyek dalam satu tempat atau satu kelompok akan tetap konstan meskipun letaknya berubah (Mercer dan Mercer, 1989:189).
Konservasi mencakup; (a) konservasi jumlah yaitu konservasi jumlah dalam 5 obyek, konservasi jumlah dalam obyek dan konservasi jumlah dalam 9 obyek; (b) konservasi berat, yaitu konservasi berat (bulat dan pipih) dan konservasi berat (opal dan spiral); (c) konservasi isi, yaitu konservasi isi tentang air (posisi vertical) dan konservasi isi tentang air pada dua tempat yang berbeda; (d) konservasi luas yaitu obyek sama, posisi berbeda dan obyek sama, bentuk berbeda.
Maju dari kongkrit ke Abstrak
Pengajaran pada tahap kongkrit adalah proses pengajaran yang dilakukan dengan mengaktifkan alat sensoris dengan cara memanipulasi obyek. Pada tahap belajar seperti ini mutlak harus menggunakan media pembelajaran (alat peraga). Sebagai contoh, dalam menjelaskan konsep bilangan. Proses belajar dimulai dari memanipulasi obyek seperti balok-balok, kelereng, gelas, cangkir dan sebagainya. Anak diperkenalkan dengan benda-benda itu, lalu didemonstrasikan, misalnya, jumlah obyek yang banyak dengan yang sedikit, balok yan jumlahnya satu dengan balok yang jumlahnya dua dan seterusnya. Kegiatan pada tahap ini belum diperkenalkan dengan simbol-simbol angka.
Pengajaran pada tahap semi kongkrit adalah proses yang dilakukan dengan menggunakan media gambar dari benda kongkrit. Misalnya gambar apel, telur, gelas, kelereng, dan sebagainya.
Semi abstrak adalah proses pengajaran yang dilakukan dengan media gambar yang obyek tidak mewakili benda kongkrit, misalnya jumlah lingkaran yang lebih banyak dibandingkan dengan jumlah lingkaran yang lebih sedikit. Menghitung jumlah gambar segitiga, sgi empat, lingkaran, dan lain-lain.
Tahap abstrak adalah pengajaran yang langsung menggunakan simbol-simbol angka (lambang bilangan) seperti angka 1, 2, 3, dan seterusnya.
Menyediakan kesempatan untuk berlatih dan mengulang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar